I’LAMUL MUWAQQI’IN ‘AN RABBIL ALAMIN JUZ III

Gambar Produk 1
Kajian Fikih
Rp 0 Rp 0
👉Cabang-cabang ilmu ini, dikenal sebagai "Ulum al-Islamiyyah" atau "Ilmu-ilmu Islam," mencakup segala aspek. I’LAMUL MUWAQQI’IN ‘AN RABBIL ALAMIN JUZ III
Sabar Senyum Berdoa
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh


بسم الله الرحمن الرحيم

I’LAMUL MUWAQQI’IN ‘AN RABBIL ALAMIN JUZ III

(PANDUAN HUKUM ISLAM)

Ibnul Qayyim



Daftar Isi
👉 Perubahan Perbedaan Fatwa Berdasarkan Perubahan Waktu, Tempat, Kondisi Dan Niat Serta Suatu Yang Terjadi Kemudian
👉 Syariat Ditegakkan Demi Kepentingan Para Hamba
👉 Mengingkari Hal-Hal Yang Mungkar Dan Syarat-Syaratnya
👉 Pengingkaran terhadap hal yang munkar memiliki 4 tingkatan
👉 Gugurnya Had (Hukuman) Dari Orang Yang Telah Bertaubat
👉 Beberapa perbuatan mukalaf yang diampuni dan tidak diazab oleh allah
👉 Pembagian Lafadz
👉 Kapan sebuah ungkapan dihukumi sesuai dengan kenyataannya?
👉 Niat Sebagai Ruh Dan Intisari Amal Perbuatan
👉 Hiyal (Siasat)
👉 Alasan Haramnya Hiyal (Siasat)
👉 Dua macam siasat yang dilarang
👉 Siasat Yang Diharamkan Dan Perinciannya


e
👉 PERUBAHAN PERBEDAAN FATWA
BERDASARKAN PERUBAHAN WAKTU, TEMPAT, KONDISI DAN NIAT SERTA SUATU YANG TERJADI KEMUDIAN

Syariat ditegakkan demi kepentingan para hamba
Pondasi dan asas syariat adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan dan kebaikan untuk umat manusiadalam kehidupan dunia ini dan juga kehidupan yang akan datang.
Syariat membawa keadilan, rahmat, damn kemaslahatan bagi semuanyasehingga setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kepada kesesatan, dari rahmat menuju sebaliknya, dan dari maslahah menuju lepada kerusakan, dari hikamah menuju kekacauan, maka yang demikian itu bukankanlah bagian dari syariat, meskipun masuk kedalamnya takwil.syariat adalah keadilan allah diantara hamba-hambanya, rahmatnya diantara semua makhluknya, hikmahnya yang menunjukkan kepadanya dan juga yang menunjukkan kepada kebenaran rasulnya dengan sempurna dan benar. Syariat juga merupakan jahayanya, dimana orang yang memiliki mata hati akan memapu melihat, ia juga merupakan petunjuknya, dan merupakan obat yang sempurna, dimana dengannya akan sembuh segala penyakit, dan merupakan jalan yang lurus, dimana orang-orang akan selamat jika mengikutinya.
👉 MENGINGKARI HAL-HAL YANG MUNGKAR DAN SYARAT-SYARATNYA

Rasulullah saw bersabda:
“barangsiapa melihat dari amirnya sesuatu yang membuatnya benci, maka hendaknya ia bersabar dan jangan mengangkat tangan dari mematuhinya (membangkang dan memeranginya).

Pengingkaran terhadap hal yang munkar memiliki 4 tingkatan:
1. menghilangkan kemunkaran dan menggantinya dengan yang sebaliknya (kebaikan).
2. memperkecil, walaupun tidak dapat menghilangkan segala macam jenisnya
3. menggantinya dengan yang semisalnya
4. menggantinya dengan yang justru lebih buruk dari sebelumnya.
Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syariat. Tingkatan yang ketiga adalah tempatnya ijtihad, dan yang keempat adalah yang diharamkan.
👉 GUGURNYA HAD (HUKUMAN) DARI ORANG YANG TELAH BERTAUBAT

1. gugurnya had disebabkan karena taubat. Contoh: kasus perkosaan yang dilakukan seseorang kepada wanita, kemudian laki-laki tersebut bertaubat dan rasulpun mengampuninya.
Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya allah telah mengampuni bagimu dosamu atau hadmu”.
Kesimpulan hadits:
a. had itu tidak boleh dijatuhkan karena adanya pengakuan dan juga tidak adanya penyebutan terhadapnya
b. gugurnya had dalam hadits diatas, hanya khusus berlaku bagi lelaki itu
c. had gugur dengan taubat sebelum pelaku dapat ditahan atas perbuatannya itu. Dan inilah yang lebih shahih.
2. mempertimbangkan petunjuk dan saksi-saksi peristiwa
3. diantara sebab-sebab gugurnya had yang lain adalah masa paceklik
Catatan:
1. Arah perubahan fatwa mengikuti perubahan situasi dan kondisi
2. Bagian yang dijadikan syara’ adalah niat seorang mukallaf bukan bentuknya
Beberapa Perbuatan Mukalaf Yang Diampuni Dan Tidak Diazab Oleh Allah:
Ibnul qayyim menyebutkan sebanyak 10 perkara yang diampuni allah swt, diantaranya:
1. lupa
2. dipaksa
3. gila
firman allah qs annahl: 106
👉 PEMBAGIAN LAFADZ

Lafadz-lafdz itu erat kaitannya dengan maksud, niat, dan keinginan di pembicara. Sedangkanmaknanya dapat dibagi menjadi 3 bagian:
1. sesuai dengan yang dimaksud oleh lafadz
2. pembicara tidak bermaksud kepada makna yang nampak dari pembicaraannya.
a. Pembicara tidak menghendaki makna yang dimaksud dan tidak pula menginginkan yang lain
b. Pembicara menghendaki makna yang berlawanan dengan isi pembicaraannya
3. makna yang dinampakkan adalah makna dari ungkapan tersebut yang didalamnya tercakup keinginan pembicara dan keinginan orang lain (pendengar), dimana satu sama lain tidak ada yang lebih kuat.
Kapan sebuah ungkapan dihukumi sesuai dengan kenyataannya?
Jika yang nampak dari keinginan (niat) pembicara itu adalah makna yang sesuai dengan ucapannya dan dia belum menampakkan keinginan yang berlawanan dengan makna tersebut, maka ungkapan tersebut wajib dihukumi sesuai dengan kenyataannya.
Niat sebagai ruh dan intisari amal perbuatan
Sabda nabi saw:
“sahnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya.
👉 HIYAL (SIASAT)

Alasan haramnya hiyal (siasat)
Al khatabi berkata: “dalam masalah ini akan dijelaskan tentang batalnya akan setiap siasat yang dilakukan yang dijadikan sebagai perantara untukmenghalalkan sesuatu yang diharamkan. Sebenarnya hukum itu tidak bisa berubah karena berubah bentuk dan diganti namanya.
Sabda nabi saw yang diriwayatkan oleh abu daud dari ibnu abbas dan dishahihkan oleh al hakim, yang menjelaskan tentang haramnya hiyal. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaum yahudi.
“sesungguhnya allah telah melaknat orang-orangyahudi, dimana allah telah mengharamkan kepada mereka memakan lemak, tetapi mereka mensiasatinya dengan cara menjualnya dan memakan harganya. Padahal jika allah mengharamkan memakan sesuatu kepada suatu kaum, maka mengharamkan pula harga jualnya.
Catatan:
1. ketentuan hukum yang dibawa rasulullah saw merupakan ketentuan syariat yang paling sempurna
2. hukum dunia itu berlaku berdasarkan sebab
3. ketentuan hukum yang berlaku bagi tujuan, menjadi hukum bagi penyebabnya. Dengan begitu, maka sarana untuk berbuat kemaksiatan, tidak dibolehkan, sedangkan sarana dalam kebaikan, diizinkan bahkan dianjurkan.
Dua macam siasat yang dilarang:
1. siasat yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki, dan secara lahiriyah pelakunya tidak menampakkan sebagai siasat, seperti tipu daya yang dilakukan seorang pencuri dan orang-orang yang menyenangi hal-hal yang diharamkan.
2. siasat dimana pelakunya menampakkan kebaikan, kemaslahatan dan menyembunyikan yang sebaliknya.
Siasat yang diharamkan dan perinciannya:
1. siasatnya dan tujuannya diharamkan
2. siasatnya dibolehkan, tetapi tujuannya diharamkan. Karena tujuannya diharamkan, maka siasat yang menjadi perantaranya secara otomatis diharamkan. Seperti bepergian untuk merampok dan membunuh jiwa yang mesti dilindungi.
3. siasat tersebut tidak digunakan untuk memenuhi tujuan yang diharamkan. Ia hanya digunakan untuk memenuhi tuntutan yang disyariatkan, seperti pengakuan, jual beli, nikah, hibah dll. Kemudian hal itu digunakan sebagai tangga atau jalan untuk melakukan sesuatu yang diharamkan.
4. siasat yang bertujuan menegakkan kebenaran dan menolak kebathilam. Siasat jenis ini terbagi menjadi 2 bagian:
a. jalan (caranya) sendiri diharamkan, walaupun yang dimaksudnya suatu kebenaran.
b. Cara dan tujuannya disyariatkan. Seperti siasat untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Inilah yang diperbolehkan.
👉 DIBOLEHKAN MENGAMBIL FATWA YANG BERSUMBER DARU GOLONGAN SALAF

Alasannya adalah:
1. karena para salaf lebih utama untuk diambil daripada fatwa para ulama mutakhirin
2. fatwa para shahabat lebih dekat pada kebenaran
3. karena masa hidup mereka lebih dekat kepada masa hidup rasulullah saw
4. kewajiban mengikuti para shahabat. Qs at taubah: 100.
👉 BERBAGAI MACAM PERTANYAAN

Pertanyaan orang yang bertanya tidak akan keluar dari 4 hal dan tidak ada hal yang ke-5:
1. penanya bertanya tentang suatu hukum dengan berkata, “apa hukumnya ini dan itu”.
2. penanya bertanya tentang dalil dari hukum tersebut
3. penanya bertanya tentang segi pembuktian yaitu hubungan antara hukum dengan dalil
4. penanya bertanya tentang jawaban terhadap orang yang menentang
Nasihat kepada pemberi fatwa:
1. hendaknya ia bersikap bijaksana terhadap pertanyaan dengan memberi jawaban yang lebih bermanfaat. Qs al baqarh: 215, 219, 289.
2. jawaban pemberi fatwa lebih banyak dari pada apa yang ditanyakan
3. jika ia mencegah suatu perbuatan yang dilarang maka hendaknya ia menunjukkan perbuatan yang dibolehkan
4. selayaknya pemberi fatwa memperingatkan penanya untuk mewaspadai khayalan atau dugaan
5. hendaknya ia menyebutkan suatu hukum disertai dengan dalilnya
6. hendaknya ia memberi pembukaan untuk masuk pada hukum, apalagi jika hukum itu termasuk kategori asing
7. dibolehkan baginya untuk bersumpah atas hukum yangtelah ia tetapkan
8. hendaknya ia menyampaikan fatwanya dengan lafadz yang sesuai lafadz nash
9. hendaknya ia selalu minta petunjuk kepada allah dalam mencapai kebenaran fatwanya
10. tidak boleh memberi fatwa atau ketetapan hukum kecuali orang yang mengetahui fatwa atau hukum dengan mantap
11. hendaknya ia jangan menyebutkan bahwa fatwanya adalah ketetapan allah kecuali dengan nash
12. hendaknya ia mengeluarkan fatwa yang ia yakini bahwa fatwa itu benar walaupun bertentangan dengan madzhabnya
13. tidak boleh baginya untuk menjerumuskan penanya dalam kebingungan
14. ia tidak boleh memberi jawaban yang global jika masalah yang ditanya memerlukan rincian
15. hendaknya ia tidak merinci kecuali pada masalah yang harus dirinci
Sikap dan sifat seorang mufti:
1. niat yang ikhlas
2. memiliki ilmu
3. bersikap santun
4. tenang dan tentram
Macam-macam pemberi fatwa:
1. orang yang memahami kitabullah, sunnah, pendapat para shahabat. Mereka adalah seorang mujtahid dalam hukum-hukum syari yang sesuai dengan dalil-dalil syari.
Mereka itulah sebagaimana yang disabdakan nabi saw: “sesungguhnya pada setiap 100 tahun allah akan mengutus seseorang bagi umat ini untuk memperbaharui agamaNya.
Ali bin abi thali ra berkata: “bumi ini tidak akan kosong dari seorang yang tetap menegakkan agama allah dengan hujjahnya.
2. mujtahid yang terikat dengan suatu madzhab seorang imam yang ia ikuti, yaitu seorang mujtahid yang mengetahui fatwa-fatwa, pendapat-pendapat dan dalil-dalil dari imam madzhab yang ia ikuti, ia menguasai semua hal itu hingga ia dapat menetapkan ketetapan baru pada suatu masalah berdasarkan pada apa yang telah ia ketahui dari imam madzhabnya. Mereka adalah al qadhi abu ya’la dan qadhi abu ali bin abu musa. Dari golongan syafii adalah ibnu surajm ibnu al mundzir, muhammad bin nasr al maruzy. Dari golongan maliki adalah ibnu abdul hakim, abnu al qasim dan ibnu wahhab. Sementara dari golongan hanafim diantaranya abu yussuf dan zafar al hudzaili.
3. seorang mujtahid dari suatu madzhab yang menggolongkan dirinya pada madzhab itu menetapkan dalil pada dalil madzhab itu, menekuni fatwa-fatwa madzhab itu dan menguasai semua hal itu, akan tetapi walaupun demikian ia tidak melawan atau menentang fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat yang ada pada madzhab itu, jika ia menemukan ketetapan dari imam madzhab itu maka ia tidak akan mencari ketetapan pada imam lain.
4. sekelompok orang yang memiliki pemahaman tentangbeberapa madzhab para imam yang digolongkan pendapatnya kepada madzhab tersebut, sekelompok ini banyak mengetahui fatwa-fatwa serta pendapat-pendapat yang ada pada madzhab itu dan mereka menetapkan diri mereka untuk mengikuti pendapat serta fatwa tersebut secara mutlak dan berbagai macam sisi.
👉 KEDUDUKAN SETIAP MACAM PEMBERI FATWA

Apakah seorang mujtahid madzhab harus berfatwa dengan pendapat imam madzhab?
Ada dua pendapat menurut pengikut madzhab syafii dan imam ahmad:
1. pendapat yang membolehkan, dalam hal ini berarti pengikutnya itu melakukan taqlid kepada pendapat orang yang telah mati dan bukan mengikuti pendapat mujtahid itu, berarti pula ia hanya memindahkan pendapat imamnya yang telah mati itu.
2. tidak boleh baginya untuk berfatwa, karena orangyang bertanya itu akanmengikuti pendapatnya (bertaqlid) dan bukan bertaqlid kepada pendapat orang yang telah mati, artinya ia belum melakukan ijtihad terhadap pertanyaan si penanya. Sementara orang yangbertanya itu berkata kepadanya: aku mengikutimu (taqlid) dengan apa yang telah engkau fatwakan kepadamu.
Dalam masalah ini harus diperinci:
Yaitu apabila penanya berkata: aku ingin mengetahui hukum alalh tentang masalah ini dan aku inginngetahui kebenarannya”. Maka wajib bagi orang yang memberi fatwa untuk melakukan ijtihad terhadap masalah yang ditanyakan, dan tidak boleh baginya taqlid. Tapi jika si penanya berkata: “dalam masalah ini aku ingin mengetahui pendapat imam madzhab ini”. Maka boleh baginya untuk mengkhabarkan pendapat imam tersebut, dalam hal ini berarti ia hanya memindahkan pendapat imam tersebut.
Apakah boleh bagi orang hidup taqlid kepada orang mati tanpa mengkaji dalilnya?
Dalam hal ini ada 2 pendapat menurut pengilut imam syafii dan imam ahmad:
1. pendapat yang melarang mengatakan: boleh merubah pendapat hasil ijtihadnya itu jika ia masih hidup
2. pendapat yang membolehkan, dan ini adalah pendapat yang mengikuti madzhab diseluruh dunia.
Apakah seorang mujtahid yang menguasai satu bidang ilmu boleh berfatwa?
Dalam hal ini ada 3 pendapat:
1. pendapat yang paking benar adalah pendapat yang membolehkan. Alasannya adalah dikarenakan ia telah mengetahui, suatu kebenaran beserta dalilnya, maka ia telah mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mengetahui kebenaran itu.
2. pendapat yangmelarang. Alasannya adalah dikarenakan adanya hubungan antara satu hukum syariat dengan hukum-hukum syariat lain maka tidak mengetahui bidang lain dapat mengakibatkan kekurangan atau cacat pada bidang ilmu yang telah diketahui. Seperti antara bidang nikahm ceraim rujukm masa iddah dll.
3. pendapat yang membolehkan hanya terbatas pada bidang faraid sementara tidak dibolehkan pada bidang selainnya. Alasannya adalah dikarenakan mereka berpendapat bahwa hukum-hukum pembagian warisan serta kadar yangharus diterima oleh yang berhak tidak ada hubungannya dengan bidang jual beli, simpan pinjam, dan gadaian. Disamping itu hukum-hukum pada bidang warisan adalah hukum yangpasti dalam nash-nash syari sementara bidang-bidang fikih lainnya umumnya bersifat dugaan
Dengan demikian, maka Orang yang berfatwa pada suatu masalah yang tidak ia ketahui maka ia telah melakukan dosa
Hukum orang awam yang tidak menemukan orang yang memberinya fatwa
Ada dua cara yang bisa ditempuh manusia:
1. dia memilikihukum sebagai orang yang belum mendapatkan syariat, karena orang yang tidak memiliki petunjuk sama dengan kedudukan suatu umat yang belum tersentuh oleh dakwah, jika hukum berlaku padanya karena tida adanya pengetahuan.
2. ia berusaha untuk keluar dari tidak ketahuannya tentang masalah itu kepada seorang mujtahid, jika masalah itu adalah masalah yang diperselisihkan, karena bertentangan dengan beberapa dalil maka hendaknya ia bertanya kepada seorang mujtahid.
Yang benar adalah ia harus bertaqwa kepada allah semampu mungkin, dengan berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui kebenaran atau mengetahui ketetapan allah yang berupa larangan atau perintah.
Siapa yang boleh berfatwa dan siapa yang tidak boleh berfatwa
Fatwa boleh dilakukan oleh hamba sahaya atau orang merdeka, bisa dilakukan pria atau wanita, dilakukan oleh orang yang dekat atau orangyang jauh atau orang asing, dilakukan oleh orang yang bisa membaca atau yang tidak bisa membaca, oleh orang yang cacat atau orang yang sempurna tubuhnya, dan oleh musuh atau teman. Sedangkan fatwa seorang yang fasiq jika ada orang selainnya yang berfatwa maka fatwa orang fasiq itu tidak diterima, dan tidak boleh seseorang memina fatwa kepada orang fasiq. Orang fasiq boleh berfatwa kepada dirinya sendiri. Sedangkan dalam hal meminta fatwa kepada orangyang tidak diketahui keadaannya maka dalam hal ini ada dua pendapat, pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan untuk meminta atau diminta fatwa.
Apakah seorang qadhi (hakim) boleh berfatwa?
Syaikh abu hamid al isfiraini berkata:
“shahabat-shahabat kami memiliki dua pedapat tentang fatwa dalam masalah-masalah hukum.
1. tidak boleh seorang hakim berfatwa dalam masalah-masalah hukum karena bagi seorang hakim ucapan atau pendapat manusia adalah bidang garapannya sementara bagi orang yang diadili ucapan atau pendapat manusia itu adalah bukti yang bisa dijadikan alasan
2. boleh bagi seorang hakim berfatwa dalam masalah-masalah hukum karena ia ahli dala bidang itu.

ORDER VIA CHAT

Produk : I’LAMUL MUWAQQI’IN ‘AN RABBIL ALAMIN JUZ III

Harga :

https://www.batikmutiara.com/2024/02/ilamul-muwaqqiin-rabbil-alamin-juz-iii.html

ORDER VIA MARKETPLACE