Tata Cara Khutbah Jumat
Tata Cara Khutbah Jumat Sesuai Sunnah
Rasulullah ﷺ
Seruan atau ajakan
untuk melakukan perbaikan atau ishlah itu memiliki banyak cara. Salah satu cara
yang paling berhasil dan efektif adalah melalui khutbah.
Oleh karena itu
khutbah disyariatkan di hari Jumat dalam setiap pekannya dan di hari raya Idul
Fitri dan Idul Adhha setiap tahunnya.
Bahkan, khutbah juga
sering dilakukan pada setiap kesempatan untuk mengingatkan kaum muslimin dengan
cara yang hikmah, juga pada saat memerintahkan kepada kebaikan (Amar Makruf)
dan melarang dari keburukan (Nahyi Munkar).
Nabi ﷺ sendiri
senantiasa melakukan khutbah ketika hendak menyampaikan persoalan yang penting
kepada para sahabatnya pada saat itu.
Demikian strategisnya
posisi khutbah dalam kehidupan masayarakat Muslim. Maka perlu dikaji bagaimana
cara Nabi ﷺ dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya, utamanya khutbah Jumat. Hal
ini penting mengingat Nabi ﷺ dikenal sebagai orator ulung.
Meneladani metode
beliau dalam berkhutbah adalah sebuah kemestian bagi keberhasilan penyampaian
pesan-pesan keislaman oleh para juru dakwah dan khatib.
Tulisan sederhana ini
berusaha menejelaskan petunjuk dan tata cara Nabi ﷺ dalam menyampaikan khutbah Jumat. Semoga bermanfaat
Urgensi Mengikuti Petunjuk Nabi
ﷺ Dalam Menyampaikan Khutbah
Telah sama kita
ketahui bahwa petunjuk Nabi ﷺ adalah sebaik-baik petunjuk. Beliau adalah
imamnya para imam, para khatib dan pemberi nasehat.
Siapa saja yang
berpegang teguh dengan petunjuknya maka akan berhasil dan selamat. Siapa saja
yang meninggalkan sunnahnya niscaya akan terperosok ke dalam kegelapan.
Di antara petunjuk
Nabi ﷺ adalah apa yang beliau ﷺ lakukan dalam khutbah Jumat. Bagi orang-orang
di masa kini, telah begitu jelas betapa metode-metode khutbahnya yang
menakjubkan dan gayanya yang asing.
Hal tersebut
menguatkan betapa pentingnya mengenali petuntuk Nabi ﷺ dalam segala keadaannya,
khususnya dalam ibadah-ibadahnya karena segala kebaikan itu ada dalam mengikuti
petunjuk Nabi ﷺ dan berpegang teguh dengan sunnahnya
Gambaran Khutbah Nabi ﷺ Yang
Istimewa
Nabi ﷺ diberi
keistimewaan berupa Jawaami’ul Kalim.ii Dari celah-celah
kalimatnya, berkilauan hikmah-hikmah yang sangat agung. Rasulullah ﷺ pernah
bersabda,
بُعِثْتُ
بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ…
”Aku diutus dengan Jawami’ al-Kalim… [Hadits
riwayat Al- Bukhari 2977].
Ucapan – ucapan dan
khutbah-khutbah beliau ﷺ memiliki ciri khas yang istimewa yaitu penggunaan
lafazh-lafazh yang mudah dipahami, gaya bahasa yang sangat bagus.
Juga memiliki keunikan
yaitu ungkapan-uangkapannya singkat namun menghimpun makna-makna yang agung,
jauh dari takalluf (memaksakan diri) dalam masalah lafazh atau ungkapan yang
bertele-tele.
Telah terdapat sebuah
riwayat yang shahih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أن
النبي صلى الله عليه وسلم كان يُحَدِّث حديثاً لو عدَّه العادُّ لأحصاه ” رواه
البخاري .
”Bahwa Nabi ﷺ itu bila
menyampaikan suatu pembicaraan, andaikan ada orang yang menghitung ucapannya
dia pasti bisa menghitungnya.” [Hadits riwayat Al-Bukhari]
Cara bertutur dan
berpidato seperti yang digunakan oleh Rasulullah ﷺ, sampai kapan pun akan tetap
merupakan gaya tutur dan pidato yang disukai oleh berbagai kalangan.
Pilihan kata yang
ringkas dan padat makna, dengan pengucapan yang sangat jelas artikulasi dan
intonasinya, dengan kecepatan bicara yang sedang dan jumlah kata yang bisa
dihitung oleh orang lain, plus diulang hingga tiga kali, betul-betul tidak
memungkinkan terjadinya kesalahpahaman dan kebingungan bagi orang yang
mendengarnya.
Ittiba’ Nabi ﷺ dalam
masalah ini bukan perkara sederhana. Ini menyangkut kapasitas keilmuan yang
luas dan mendalam, serta keahlian mengkomunikasikan pikiran dan perasaan dengan
ungkapan dan pembahasaan yang baik, benar, jelas dan pilihan kata yang tidak
ambigu.
Jelas sekali, teknik
Nabi ﷺ dalam berkomunikasi dan berorasi memenuhi seluruh kriteria seorang
komunikator dan pembicara publik yang baik dengan standard pada hari ini. Maka,
bila para khatib mengikuti jejak beliau dalam masalah ini, mereka akan menjadi
khatib yang sangat baik dan mengesankan.
Petunjuk Khutbah Sesuai Sunnah
Nabi ﷺ
Di dalam sunnah,
Rasulullah ﷺ banyak memberikan petunjuk cara khutbah. Berikut yang kami
sarikan:
– Khutbah Nabi ﷺ Itu Ringkas
Padat
Bila mencermati metode
Nabi ﷺ dalam khutbahnya, kita dapati bahwa khutbahnya memiliki ciri berupa
ringkas dan tidak panjang lebar. Bahkan Nabi ﷺ bersabda:
إن
طول صلاة الرجل وقصر خطبته مئنة من فقهه، فأطيلوا الصلاة، واقصروا الخطبة
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan ringkasnya khutbahnya
merupakan tanda kedalaman pemahamannya. Maka panjangkanlah shalat kalian dan
pendekkanlah khutbah.” [Hadits riwayat Muslim]
Ringkasnya khutbah itu
tanda bagi kedalaman pemahaman seseorang karena dia mengetahui kata-kata yang
padat makna. Dia mengungkapkan dengan kata yang ringkas dan mengena dan bukan
dengan banyak kata.
Jadi, petunjuk Nabi ﷺ
dalam persoalan ini adalah pertengahan dalam khutbahnya, antara khutbah panjang
lebar yang membosankan dan khutbah yang terlalu ringkas sehingga kurang
memberikan kejelasan.
Dalam hal ini, Jabir
bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata,
كانت
صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم قصداً، وخطبته قصداً، يقرأ آيات من القرآن
ويذكر الناس
”Rasulullah ﷺ itu
shalatnya sedang (pertengahan), khutbahnya juga sedang. Beliau membaca sejumlah
ayat dari Al-Quran dan mengingatkan orang-orang.” [Hadits riwayat Abu Dawud]
Yang dimaksud
dengan قصداً “qashdan’ (sedang/pertengahan) adalah
pertengahan antara panjang dan pendek.iv
Hari ini, sering kita
dapati para khatib yang justru terbalik kondisinya. Sebagian dari mereka
memperpanjang khutbahnya. Banyak bermain kata dan kalimat, namun kosong dari
ilmu yang bermanfaat.
Khutbahnya cenderung
bertele-tele, atau terlalu melebar kemana-mana. Banyak hal yang sebenarnya
kurang atau bahkan tidak relevan justru ikut disampaikan. Hal ini jelas
bertolak belakang dengan tuntunan Nabi ﷺ dalam berkhutbah.
Biasanya, itu
merupakan akibat dari persiapan yang kurang matang atau memang tidak
betul-betul menguasai topik yang dibahas.
Bila pada kenyataannya
khatib semacam itu adalah orang yang secara akademis sangat kompeten, berarti
ada keterbatasan dalam kemampuan dalam mengkomunikasikan pikirannya secara
lisan.
Terkadang memang ada
orang semacam ini. Yaitu sangat cerdas dan berpengetahuan luas, namun sama
sekali tidak punya kapabilitas dalam menyampaikan pikiraan dan gagasannya
dengan benar dan sistematis secara lisan.
Akibatnya, dia
berbicara berputar-putar. Tidak jelas ujung dan pangkalnya. Fokus pembicaraan
pun tidak jelas. Panjangnya khutbah, sama sekali tidak menjadikan audience
memahami apa yang dia sampaikan.
Dan saat tiba waktu
shalat, para khatibyang khutbahnya terlalu panjang lebar ini kadang diikuti
dengan cara shalat yang sangat pendek. Hal ini sangat disayangkan. Karena yang
disunnahkan adalah ringkas khutbahnya dan panjang shalatnya.
– Nabi Menyampaikan Khutbah
Dengan Penuh Semangat Dan Penghayatan
Jabir radhiyallahu
‘anhu mendeskripsikan keadaan Nabi ﷺ saat tengah berkhutbah dengan mengatakan,
كان
النبي صلى الله عليه وسلم إذا خطب احمرت عيناه، وعلا صوته، واشتد غضبه، حتى كأنه
منذر جيش
”Nabi ﷺ bila sedang
berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi dan kemarahannya semakin
menjadi, hingga seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan (dari musuh)…”
[Hadits riwayat Muslim]
Ini memang salah satu
keistimewaan Rasulullah ﷺ. Berbicara seperti panglima perang yang memberikan
komando kepada para prajuritnya di medan perang padahal tema khutbahnya tidak
selalu tentang mengobarkan semangat untuk berjihad di jalan Allah.
Cara berkhutbah ala
Nabi ﷺ yang penuh semangat dan penuh penghayatan semacam ini, bisa dikatakan
sudah jarang dilakukan oleh para khatib pada masa kini. Kebanyakan khatib pada
masa sekarang cenderung datar penyampaiannya dan tanpa emosi atau penghayatan.
Sebagai akibatnya,
para jamaah shalat Jumat jadi mudah mengantuk. Mereka biasanya sudah bekerja
seharian. Kemudian saat datang di masjid, mereka disuguhi gaya berkhutbah yang
dingin, datar, tanpa semangat dan penghayatan.
Bahkan tak jarang, ada
yang sekedar membaca naskah pidato tanpa melihat kondisi audiens sama sekali.
Khutbah semacam ini menjadi kurang efektif. Para jamaah cenderung asyik dengan
dirinya sendiri dan bahkan sebagiannya tidur karena mengantuk.
Namun bila para khatib
mengikuti gaya berpidato Rasulullah ﷺ yang penuh semangat dan penghayatan
terhadap apa yang sedang disampaikan, hampir bisa dipastikan, tidak akan ada
jamaah shalat Jumat yang tertidur, kecuali sedikit.
Kita tidak perlu
sampai pada tingkatan mata hingga memerah, karena itu memang bukan perkara
mudah. Memerahnya mata Rasulullah ﷺ itu menunjukkan betapa kuatnya semangat dan
penghayatan beliau terhadap apa yang disampaikan.
Juga menunjukkan
betapa besarnya keinginan yang terkandung dalam hatinya agar kaum muslimin yang
mendengarkan khutbah beliau itu benar-benar terpengaruh dan terdorong untuk
mengikuti dan memegang teguh petunjuk yang beliau sampaikan dalam khutbahnya.
Prinsipnya bukan
memerahnya mata, namun kuatnya semangat dan penghayatan terhadap tema yang
disampaikan. Hal itu menuntut sang khatib harus benar-benar menyiapkan
khutbahnya dengan serius.
Hal yang paling
penting bagi seorang khatib adalah dia harus benar-benar menguasai tema pidato
dan konsisten dengan apa yang disampaikan. Karena sumber utama dari pidato yang
penuh penghayatan adalah penguasaan persoalan dan sikap konsisten.
Hal ini tidak bisa
dibuat-buat. Kalaulah seseorang pintar bermain kata dan kalimat, namun tidak
akan bisa memberikan pengaruh yang nyata terhadap audiens paska khutbah Jumat
tersebut.
Ini karena pidato
tersebut sebenarnya hanyalah olah kata dan intonasi suara, serta ritme bicara.
Kering dan hambar, tanpa penjiwaan yang tulus dan jujur.
Semoga Allah
memudahkan para khatib seluruhnya untuk bisa meniru gaya Nabi ﷺ dalam
berkhutbah dengan penuh semangat dan penghayatan.
Khutbah Jumat akan
menjadi saat yang benar-benar dinanti oleh para jamaah shalat karena mereka
benar-benar mendapatkan penyampaian ilmu, nasehat dan peringatan yang baik,
benar dan berkualitas tinggi.
– Memilih Kata-kata yang
mengandung banyak makna
Nabi ﷺ bila berkhutbah
maka beliau menyeleksi kata-katanya. Beliau memilih kata-kata yang ringkas
dengan kandungan makna yang banyak. Ini dikenal dengan istilah jawami’ul kalim.
Beliau mengajar para sahabatnya kaidah-kaidah Islam dan syariatnya yang agung.
Beliau memberi
wejangan kepada mereka apa saja yang akan mendekatkan mereka kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan apa saja yang telah Allah siapkan untuk mereka berupa
nikmat yang kekal di surga-Nya.
Nabi ﷺ juga melarang
para sahabat dari segala hal yang akan mendekatkan mereka kepada murka Allah
dan neraka-Nya. Kandungan khutbah Nabi ﷺ tidak pernah kosong dari ayat -ayat
al-Quran.
Rasulullah ﷺ membaca
al-Quran dalam khutbah dan beristidlal dengan ayat-ayat Al-Quran. Sebagaimana
dalam hadits dari Shafwan bin Ali dari ayahnya bahwa dia mendengar Nabi ﷺ
membaca di atas mimbar ونادوا يا مالك (surat Az-Zukhruf: 77) [hadits riwayat
Al-Bukhari no. 3026 dan Muslim no. 1439]
Bahkan Nabi ﷺ karena
banyaknya membaca al-Quran dalam khutbah, sebagian sahabat menghafal beberapa
surat dari Al-Quran. Hal ini sebagaimana dalam hadits dari ‘Amarah binti
Abdurrahman dari saudarinya ‘Amarah, dia berkata,
”Aku menghafal ق
وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ (surat Qaf) dari lisan Rasulullah ﷺ pada hari Jumat.
Beliau membacanya di atas memimbar di setiap Jumat. [Hadits riwayat Muslim
1440]
Sedangkan di masa kita
sekarang ini, kita telah mendengar khutbah-khutbah yang menggema namun
sayangnya kosong dari ayat-ayat Allah ‘Azza wa Jalla.
Sudah semestinya bagi
seorang khatib senantiasa menukil ayat atau pun hadits untuk menjadi landasan
utama dalam menyampaikan pesan-pesan dalam khutbahnya.
Agar ada jaminan
keselamatan dari kesalahan atau penyimpangan dalam memahami ayat dan hadits,
maka hendaklah membaca tafsir ayat dan syarah hadits yang hendak disampaikan.
Sebab untuk memahami
dengan benar kandungan ayat al-Quran dan hadits Nabi ﷺ dengan benar memang
memerlukan cukup banyak perangkat ilmu.
Seseorang tidak bisa
dengan gegabah meilhat terjemahan ayat al Quran dan hadits lalu memberikan
pemaknaan sendiri menurut apa yang dia pahami dari zhahir nash atau redaksi
ayat dan hadits tersebut.
Hal ini karena ayat
dan hadits itu ada yang sangat mudah dipahami namun banyak juga yang butuh
sejumlah perangkat ilmu dan pengetahuan untuk bisa sampai kepada kesimpulan
yang benar tentang kandungan maknanya.
Jalan paling pintas
adalah dengan mendengarkan penjelasan para ulama atau membaca tulisan para
ulama ahli tafsir dan para pensyarah hadits.
Mereka telah
mencurahkan banyak upaya serta menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk
mengkaji berbagai disiplin ilmu agama. Mereka layak menjadi rujukan dalam
memahami nash-nash al-Quran dan as Sunnah.
– Fleksibel Dalam Melaksanakan
Khutbah
Di antara bentuk
kesempurnaan petunjuk Nabi ﷺ dalam melaksanakan khutbah Jumat, beliau terkadang
saat sedang berkhutbah tiba-tiba menghentikan khutbahnya untuk sementara karena
suatu keperluan.
Di antara keperluan
tersebut adalah memberikan bimbingan tentang suatu perkara tertentu, atau
pengarahan atau nasehat untuk orang yang melakukan pelanggaran.
Suatu kali beliau
menghentikan khutbahnya untuk memberikan peringatan tentang betapa pentingnya
shalat dua rakaat tahiyatul masjid.
Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
بينما
النبي صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة، إذ جاء رجل فقال له النبي صلى الله
عليه وسلم: ( أصليت يا فلان؟ ) قال: لا، قال: ( قم فاركع ركعتين) رواه البخاري و
مسلم
Ketika Nabi ﷺ sedang
berkhutbah, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Maka Nabi ﷺ bertanya
kepadanya,” Apakah kamu sudah shalat wahai fulan?” Dia
menjawab,”Belum.” Nabi ﷺ bersabda,” Berdirilah dan shalatlah dua
rakaat.” [Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
Terkadang beliau
menghentikan khutbahnya karena memperhatikan perasaan anak-anak sebagaimana
terjadi padanya ketika turun dari mimbar untuk menggendong al-Hasan dan
Al-Husain.
Urutan Tata Cara Pelaksanaan
Khutbah Jumat
Berikut ini
urut-urutan tata cara pelaksanaan khutbah Jumat sesuai dengan apa yang
dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ
1. Naik Mimbar dan Mengucapkan
Salam
Khatib naik mimbar
kemudian menghadap ke arah jamaah shalat Jumat dan mengucapkan salam kepada
mereka.
Hal ini berdasarkan
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ
سَلَّمَ
“Bahwa Nabi ﷺ jika
telah naik mimbar lantas mengucapkan salam”.
[Hadits riwayat Ibnu
Majah dan Al-Baghawi. Syaikh Al Albani berkata,”Hadits hasan shahih.” Di dalam
Shahih Ibnu Majah 1/282 dan beliau juga menyebutkannya di dalam Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah 5/206]
2. Duduk Mendengarkan &
Menjawab Adzan
Seusai mengucapkan
salam kemudian khatib duduk dan mendengarkan adzan sang muadzin sambil menjawab
adzan.
Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي
سُفْيَانَ وَهُوَ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ قَالَ اللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ مُعَاوِيَةُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا
فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ وَأَنَا
فَلَمَّا أَنْ قَضَى التَّأْذِينَ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا الْمَجْلِسِ حِينَ
أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ يَقُولُ مَا سَمِعْتُمْ مِنِّي مِنْ مَقَالَتِي
Dari Abu Umamah Sahl
bin Hunaif, dia berkata,” Aku mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan saat sedang
duduk di atas mimbar, ketika muadzin mengumandangkan adzan dan mengucapkan, “Allaahu Akbar, Allaahu Akbar”, Muawiyah berkata, “Allaahu Akbar, Allahu Akbar.”
Muadzin mengucapkan, ”Asyhadu allaa ilaaha illallaah”, Muawiyah berkata, ”Wa Ana.” -maksudnya dan saya juga bersaksi bahwa tidak
ada ilaah (sesembahan yang diibadahi dengan haq)
kecuali Allah, pent). Muadzin mengucapkan, ”Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah”,
Muawiyah berkata, ”Wa Ana.” (Dan saya juga bersaksi
bahwa Muhammad utusan Allah, pent).
Setelah kumandang
adzan telah usai, Mu’awiyah berkata, ”Wahai, manusia! Sesungguhnya aku telah
mendengar Rasulullah ﷺ di atas tempat duduk ini – ketika muadzin beradzan-,
mengatakan apa yang kamu dengar dariku, yaitu kata-kataku tadi.” [Hadits
riwayat al- Bukhari, no. 914].
3. Memulai dengan khutbah hajah
Setelah selesai adzan,
khatib berdiri untuk memulai khutbah Jumat
Pembukaan Khutbah sesuai sunnah dimulai dengan membaca pujian dan sanjungan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bacaan tasyahud diikuti dengan wasiat taqwa
dengan membaca ayat-ayat yang memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
Ini dikenal dengan khutbah hajah.
Para ulama mengatakan
bahwa lafazh khutbah hajah ini tidak hanya untuk khutbah nikah namun juga
dipakai untuk khutbah lainnya termasuk khutbah Jumat dan saat memberikan
mau’izhah.viii
Pengantar khutbah
Jumat adalah sebagai berikut:
إنَّ
الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ
أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
Segala puji bagi Allah
(kami memuji-Nya), kami mohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya.
Kami berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan
kami.
Siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan siapa yang
disesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa
tidak ada ilah ( sesembahan yang berhak diibadahi dengan haq), kecuali Allah
(semata, tidak ada sekutu bagiNya), dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran:102]
Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertaqwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. [An Nisa’:1]
Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenangan yang besar. [Al Ahzab: 70, 71]. (Amma ba’du)
Lafazh khutbah yang
diberkahi ini diriwayatkan oleh enam orang sahabat Nabi ﷺ yaitu: Abdullah bin
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, Nubaith
bin Syarit dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Dan dari Tabi’in satu orang yaitu
Az-Zuhri rahimahullah.
Hadits dari Abdullah
bin Mas’ud ada empat jalur. Salah satunya adalah berikut ini:
عن
أبي عبيدة بن عبد الله عن أبيه قال : عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ [ فِيْ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ ] : إنَّ
الْحَمْدُ لِلّهِ….الخ
Dari Abu Ubaidah bin
Abdillah dari ayahnya (Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu), dia berkata,
“Rasulullah ﷺ mengajari kami khutbatul hajah [dalam nikah dan lainnya] … –Innal
hamda lillaah…hingga akhir. (sebagaimana lafazh di atas,pent)
[Hadits riwayat Abu
Dawud (1/331), An-Nasa’i (1/208), Al-Hakim (2/182-183), Ath-Thayalisi no. 338,
Ahmad no. 3720 dan 4115), Abu Ya ‘la dalam musnadnya (1/342), Ath-Thabrani
dalam Mu’jam Al-kabir dan Al-Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/146). Syaikh
Al-Albani mengatakan seluruh sanad periwayat hadits ini tsiqat (terpercaya)]ix
Dalam hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa setelah mengucapkan amma ba’du, beliau
mengucapkan:
فإن
خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة
Fa inna khoirol
hadiitsi kitaabullah wa khoirol hadyi hadyu muhammad wa syarrol umuuri
muhdatsaatuhaa wa kulla bid’atin fii dholaalah.
“Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah kitab Allah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara baru dalam agama. Sesungguhnya setiap perkara bid’ah
adalah kesesatan.”
[Hadits riwayat Muslim
(867); An-nasa’i (1578), Ibnu Majah (45), Ahmad (3/311) dan Ad-Darimi (206)]
Perlu ditambahkan di
sini bahwa khutbah hajah, salah satunya memang seperti di atas urutannya
sebagaimana dalam riwayat tersebut.
Namun, menurut Syaikh
Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, dalam sebuah khutbah disyariatkan hal-hal
berikut ini:
1. Pujian dan sanjungan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan pujian yang sesuai untuk-Nya
2. Kesaksian terhadap keesaan Allah dan kesaksian
terhadap Nabi-Nya dengan risalah (kerasulan).
3. Shalawat terhadap Nabi ﷺ khususnya saat
berdoa.
4. Membaca sebagian dari ayat-ayat al Quran.
5. Wasiat untuk bertaqwa kepada Allah.
Dengan demikian,
setelah memuji Allah dan mengucapkan tasyahud, sebaiknya disisipkan shalawat
untuk Nabi ﷺ kemudian dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat al quran dan
seterusnya.
4. Menyampaikan Khutbah
Setelah itu khatib
mulai menyampaikan khutbah kepada jamaah shalat Jumat.
Khutbah ini dilakukan
dua kali karena shalat Jumat itu didahului dengan dua khutbah sesuai sunnah
Rasulullah ﷺ.
Di antara kedua
khutbah tersebut, khatib duduk sebentar tanpa berbicara.
Hal ini sebagaimana
hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
رأيت
النبي صلى الله عليه وسلم يخطب قائماً، ثم يقعد قعدة لا يتكلم، ثم يقوم فيخطب خطبة
أخرى ) رواه النسائي
”Aku telah melihat
Nabi ﷺ berkhutbah dalam keadaan berdiri kemudian duduk dengan tidak berbicara
saat duduk tersebut. Kemudian berdiri lalu berkhutbah dengan khutbah yang
lain.” [Hadits riwayat An-Nasa’i]
5. Menutup dengan Doa
Khatib menutup khutbah
dengan berdoa kepada Allah Ta’ala
Nabi ﷺ apabila telah
selesai berkhutbah, beliau berdoa untuk orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan dengan memohonkan ampunan dan rahmat. Setelah itu beliau mengakhiri
khutbahnya dengan membaca istighfar.
Demikian tadi penjelasan
tentang cara khutbah Jumat sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi ﷺ.
Apabila ada kebenaran
dalam tulisan ini maka itu murni dari rahmat Allah semata. Dan bila ada
kesalahan dan penyimpangan maka itu dari kami dan dari setan.
Semoga Allah berkenan
mengampuni kesalahan dan dosa kami