Adab Khutbah Jum'at
Kriteria Khatib Jumat, Sifat, Adab,
& Kesalahan Yang Sering Terjadi
Kriteria Khatib Jumat – Khutbah merupakan salah satu syiar Islam.
Khutbah memiliki peran penting dalam membentuk perilaku masyarakat dan
mempengaruhi mereka dalam berbagai bidang kehidupan.
Khutbah memiliki peran
yang menonjol dalam melayani dakwah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu,
Rasulullah ﷺ memberikan perhatian terhadap khutbah dalam rangka menyebarkan
Islam dan menyampaikan risalah.
Bila demikian
strategisnya posisi Khutbah Jum’at dalam Islam, maka khatib masjid
sebagai pelaksana khutbah bukanlah orang sembarangan. Khatib merupakan
orang-orang pilihan, imam masyarakat dan pembimbing mereka menuju kebaikan
dunia dan akhirat.
Tulisan ini dibuat
untuk menjelaskan tentang syarat-syarat seseorang bisa menjadi khatib,
sifat-sifat khatib, adab-adab khatib, dan beberapa kesalahan yang terkadang
dilakukan oleh seorang khatib
Kriteria & Syarat Khatib
Jumat
Syarat -syarat khatib
Jumat menurut penjelasan Markaz Al-Fatwa yang berada di bawah bimbingan Dr.
Abdullah Al-Faqih adalah sebagai berikut:i
1. Muslim
2. Berakal
3. Laki-laki
4. Memiliki ilmu dan bashirah.
Namun boleh juga
khatib berkhutbah dengan mengambil dari buku terpercaya yang ditulis oleh orang
berilmu dan memiliki bashirah, dengan suara yang bisa didengar oleh orang
banyak atau melalui pengeras suara.
5. Bukan ahli maksiat.
Bila seseorang dikenal
suka bermaksiat maka semestinya tidak diangkat sebagai khatib. Semestinya yang
ditunjuk sebagai khatib adalah orang yang bukan ahli maksiat, suka berbuat baik
dan memiliki keutamaan.
Seyogyanya pihak –
pihak yang berwenang tidak mengangkat seorang khatib kecuali orang yang
memiliki keutamaan, memiliki sifat ‘adalah (bukan ahli maksiat) dan istiqamah.
Namun, andaikan
ditentukan bahwa seseorang itu pelaku maksiat dan menjadi imam shalat bagi
manusia maka shalat mereka itu sah berdasarkan pendapat yang benar selama dia
seorang muslim. Jadi maksiat tidak membatalkan shalatnya dan shalatnya orang
yang shalat di belakangnya (makmumnya) baik shalat Jumat maupun shalat jamaah.
Sedangkan berdasarkan
fatwa Dr. Ahmad Thaha Rayyan, Dosen Al-Fiqih Al-Muqaran (Fikih Perbandingan) di
Universitas Al-Azhar, di antara syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh
seorang khatib adalah :
1. Memiliki ilmu tentang hukum-hukum shalat
sehingga mampu melakukan perbaikan bila terjadi kesalahan dalam shalat dan
menyempurnakan kekurangan yang terjadi.
2. Memiliki hafalan yang kuat dalam jumlah
tertentu dari al quran al karim sebagai sarana untuk menjadi imam bagi orang
banyak. Meskipun yang paling utama adalah yang paling banyak hafalan al
qurannya berdasarkan sabda Nabi ﷺ ,”Orang yang paling berhak
sebagai imam (shalat) adalah yang paling menguasai kitab Allah Ta’ala (maksudnya
yang paling banyak jumlah hafalannya atau yang paling bagus bacaannya, pent.ii.”
3. Dikenal oleh penduduk di daerah tempat dia
berkhutbah sebagai orang yang istiqamah dan lurus jalan hidupnya, sehingga dia
bisa menjadi teladan yang baik bagi orang-orang yang menjadi pendengar
khutbahnya dan mengimami shalat mereka.
Manusia secara umum
melihat kepada perilaku para ahli ilmu dan perbuatan mereka sebelum melihat
kepada perkataan dan ucapan mereka.iii
Sifat-Sifat Khatib Jumat
Khatib memiliki peran
besar dan pengaruh kuat di masyarakatnya dan para pendengarnya. Dia seperti
seorang pendidik dan pengajar, penegak disiplin syariat dan seorang pembimbing.
Tugas khatib itu
merupakan tugas yang berat dan besar yang mengharuskan dirinya untuk menyiapkan
persiapan yang memadai , memiliki pemikiran yang lurus dan piawai dalam
melaksanakannya.
Sifat khathib terbagi
menjadi dua, yaitu sifat yang berkaitan dengan pribadinya dan sifat yang
berkaitan dengan penampilan sang khatib.v
– Sifat Khatib yang berkaitan
dengan pribadi khatib
Sifat khatib yang
berkaitan dengan pribadi khatib terbagi menjadi dua:
- Sebelum khutbah
1. Kecenderungan alami (modal utama khutbah
adalah sifat bawaan dan pilarnya adalah latihan)
2. Artikulasi yang jelas dan kefasihan lisan
3. Bekal ilmu pengetahuan
4. Kepribadian yang kuat
5. Akhlak yang baik
6. Ikhlas dan yakin dengan apa yang anda katakan
- Saat menyampaikan khutbah
1. Pidato yang baik (kenyaringan dan suara yang
bagus, keseimbangan aksen, pengucapan yang baik, berdiri pada posisi yang
baik.)
2. Cepat berimprovisasi
3. Antusiasme dan gairah yang membara.
4. Ketenangan dan kekuatan hati
– Sifat khathib yang berkaitan
dengan penampilan khatib
1. Kewibawaan khatib dalam pakaiannya, dan
keindahan penampilannya.
2. Ada jeda saat pelaksanaan khutbah.
3. Isyarat yang baik dan gerakan yang seimbang.
Adab Khatib Jumat
Adab-adab khatib
menurut Syaikh Abdurrahman al-Ahmad dalam kitabnya Al-Bayan Az-Zahir ila Fursanil Manabir adalah
sebagai berikut
1. Ikhlas
Khatib menujukan
dakwah dan khutbahnya hanya untuk mengharap ridha Allah semata bukan yang lain.
Dia tidak bermaksud untuk mendapatkan pengaruh, kemasyhuran dan popularitas.
Dakwah dan khutbah itu
ibadah. Bahkan keduanya termasuk amal yang paling besar untuk mendekatkan diri
kepada ‘Allah Azza wa Jalla. Oleh karenanya, harus terpenuhi dua syarat
diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah.
Bukan kata-kata yang
kosong dan tidak ikhlas. Kata-kata semacam ini tidak akan berpengaruh kepada
seorang pun, tidak menggerakkan orang yang diam dan keluar dari lisan dalam
keadaan mati.
Sesungguhnya musibah
besar dan bencana yang membahayakan itu ada pada kurangnya keikhlasan.
Hukumannya ada dalam kehidupan di akhirat nanti. Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan:
أول
ثلاثة تسعر بهم النار يوم القيامة رجل تعلم العلم وعلمه ليقال عالم
”(Ada) Tiga golongan manusia yang pertama kali dibakar api neraka
pada hari kiamat. Seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya dengan
tujuan agar disebut sebagai orang yang berpengetahuan luas (‘alim)…”
Ketika ikhlas sirna
dan mencari ridha manusia serta sanjungan mereka, maka yang menggerakkan sang
khatib adalah keinginan-keinginan manusia. Pilihan-pilihan tema khutbahnya dan
penyajiannya sesuai dengan kadar untuk mewujudkan hal itu.
Hendaknya seorang
khatib waspada terhadap penyakit mematikan ini. Perlu diketahui bahwa
keikhlasan dan kesukaan terhada pujian dan ambisi terhadap keridhaan manusia
itu tidak akan bisa bersatu dalam hati seseorang selama-lamanya, kecuali sebagaimana
berkumpulnya antara air dan api.
Oleh karena itu, siapa
yang menginginkan keikhlasan, maka sembelihlah rasa tamak terhadap keridhaan
manusia itu dengan pisau putus asa terhadap mereka dan sembelihlah rasa cinta
kepada pujian dengan pisau zuhud dan tamak terhadap akhirat . Saat itulah
terwujud keikhlasan.
2. Teladan batin (al-qudwah
al-bathinah)
Yang kami maksud
dengan teladan batin adalah kesesuaian perbuatan dengan perkataan dan amal
membenarkan kata-kata. Malik bin DInar berkata,
إن
العالم إذا لم يعمل بعلمه زلت موعظته عن القلوب كما يزل القطر عن الصفا
”Sesungguhnya orang
berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, nasehatnya tidak akan meresap ke dalam
hati sebagaimana tetes air hujan tidak bisa meresap ke gunung batu.”
Hal ini karena
ungkapan dengan perbuatan itu lebih kuat dan lebih berpengaruh dalam hati
seseorang daripada ungkapan lisan. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
كَبُرَ
مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ
”Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
[Ash-Shaf: 3]
Seorang khatib
semestinya memiliki perjalanan hidup yang lurus, terpuji dan tidak tergiur
dengan dunia dan berbagai tingkatannya, bersabar terhadap bencana-bencana dunia
dan dinamikanya, merasa di awasi oleh Allah di saat sendirian maupun di hadapan
banyak orang.
Dia ridha terhadap
kondisi sulit dan lapang, memanfaatkan vitalitas hidupnya dan memperhatikan
kekurangan-kekurangannya, senantiasa mengamalkan apa yang diperintahkan
terhadap dirinya, mencintai orang-orang yang taat kepada Allah dan membenci
orang-orang yang menyelisihi Allah Ta’ala.
Dia bersikap waspada
terhadap kemewahan dan perhiasan dunia ini, tidak cenderung kepada hamba dunia
dan syahwatnya, tidak suka dengan ketinggian dunia dan popularitasnya, menjalankan
kewajiban-kewajiban dari Allah dan ketentuan-ketentuan-Nya.
Dia menjauhi
larangan-larangan-Nya dan batas-batas-Nya, senantiasa menghadap kepada Allah
dan berpaling dari selain-Nya dan tidak peduli dengan celaan para pencela
selama di jalan Allah.
3. Santun dan lapang dada
Kesempurnaan ilmu itu
ada pada sikap santun. Ungkapan yang lembut adalah pembuka hati. Seorang khatib
akan mampu untuk mengobati penyakit-penyakit jiwa dengan ketenangan jiwanya dan
ketentraman hatinya serta kelapangan dadanya.
Namun bila amarahnya
mudah tersulut dan sikap pandir seseorang bisa memprovokasinya, maka hati
manusia akan berlari darinya dan jiwa-jiwa mereka akan berpaling dari dirinya.
Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman tentang hamba-Nya yang terbaik dan penutup para rasul-Nya ﷺ:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ
لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ
”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [Ali Imran: 159]
4. Tawadhu’
Seorang dai kepada
Allah dan khatib yang membimbing manusia adalah orang yang paling butuh kepada
sikap tawadhu’ dibanding yang lainnya.
Manusia tidak akan
menerima orang-orang yang merasa superior terhadap mereka, meremehkan mereka,
mengecilkan mereka dan bersikap takabur kepada mereka meskipun apa yang dia
katakan itu haq dan benar.
Salah satu sifat dasar
manusia adalah mereka tidak menyukai orang yang banyak bicara tentang dirinya
sendiri, banyak memuji diri sendiri dan banyak berkata: saya… saya…
Demikian pula,
masyarakat tidak menerima orang-orang yang hidup di menara gading yang melihat
manusia dan kepentingan mereka dari ketinggian, menolak untuk berhubungan dekat
dengan mereka dan hidup terisolasi dari mereka.
Akibatnya, tidak ada
saling mengunjungi atau bertemu, jauh dari tembok masjid. Orang-orang
mengharapkan kejujuran dai dan khatib, kasih sayangnya dan kerendahan hatinya.
Pada dasarnya,
tawadhu’ itu dikatakan kepada orang-orang yang memiliki kebesaran yang memang
secara hakiki mereka itu orang besar. Adapun kita, maka dikatakan kepada
masing-masing diri kita: ketahuilah kadar (kapasitas) dirimu sendiri.
Seseorang itu hanya
akan memandang dirinya tinggi, menyombongkan diri dan takjub terhadap dirinya
sendiri jika dia tidak mengetahui hakikat dirinya dan tidak mengenal kekuasaan
Rabb-nya.
Terkadang kesombongan
dan ujub itu menyusup ke dalam hati para dai dan khatib karena mereka melihat
orang-orang memperhatikan mereka, mendengarkan mereka dan berkerumun di sekitar
mereka.
Mereka itu berada
dalam bahaya besar di dunia sebelum di akhirat. Sebagian ulama salaf berkata,
من
تكبر بعلمه وترفع وضعه الله به ومن تواضع بعلمه رفعه الله به
”Siapa yang takabur
dan merasa tinggi dengan ilmunya, Allah akan merendahkannya dengan ilmunya
tersebut. Dan barang siapa merendahkan diri dengan ilmunya, Allah akan
meninggikannya dengan ilmunya tersebut.”
Dalam sebuah hadits
disebutkan:
من
تواضع لله رفعه
”Siapa yang bersikap tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan
meninggikannya.”
Mafhum (makna
implisit) dari hadits ini berarti orang yang takabur akan direndahkan oleh
Allah.
Nabi ﷺ bersabda,
لا
يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
”Orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat dzarrahvii (bagian
terkecil dari suatu unsur,pent) tidak akan masuk ke dalam
surga.”
Harus dipahami
perbedaan antara tawadhu’ yang terpuji dengan kehinaan dan kerendahan. Betapa indahnya
ucapan Ibnul Mubarok rahimahullah mengenail hal itu, saat dia mengatakan,
أساس
التواضع أن تضع نفسك عند من دونك في نعمة الدنيا حتى تعلمه أنه ليس لك عليه بدنياك
فضل، وأن ترفع نفسك عمن هو فوقك في الدنيا حتى تعلمه أن ليس له بدنياه عليك فضل.
”Asas dari tawadhu’
adalah anda merendahkan diri anda kepada orang-orang yang berada di bawah anda
dalam masalah nikmat dunia, hingga anda membuat dirinya mengerti bahwa anda
dengan kenikmatan dunia yang anda miliki, tidak memiliki kelebihan atas
dirinya.
Juga, anda mengangkat
diri anda terhadap orang-orang yang secara duniawi di atas diri anda, hingga
anda membuat dirinya mengerti bahwa dia, dengan nikmat duniawinya itu, tidak
memiliki kelebihan apa pun atas diri anda.”
5. Mampu mengendalikan diri dan
tangguh
Berbicara di depan
umum adalah posisi yang berbahaya, karena sang khatib rentan terhadap berbagai
kesulitan dan hal-hal yang tidak disukai.
Terkadang dia akan
menemui halangan atau penolakan, dan mungkin olok-olokan dan pelecehan. Obat
dari semua itu adalah kesabaran dan ketahanan.
6. Qana’ah, ‘iffah dan tidak
berharap kepada manusia.
Sejauh mana ulama, dai
dan khatib bersikap qana’ahviii terhadap dunia dan
mengecilkan nilai dunia maka sejauh itu pula kadar kedudukan mereka dalam hati
manusia, berkumpulnya mereka di sekelilingnya dan ketundukan manusia kepada
mereka.
Sejauh mana kadar
ketergantungan para ulama, dai dan khatib kepada dunia, maka sejauh itu pula
kadar tidak tertariknya manusia kepada mereka, menjauhnya manusia dari mereka
dan perginya manusia dari mereka.
Sufyan Ats Tsauri
berkata,
العالم
طبيب هذه الأمة، والمال داؤها، فإذا كان يجر الداء إلى نفسه فكيف يعالج غيره؟
”Orang berilmu itu
dokter umat ini sedangkan harta itu penyakit umat ini. Apabila penyakit itu
berlari menuju dirinya sendiri lantas bagaimana dia akan mengobati yang lain?”
Qana’ah , ‘iffah
(memelihara diri dari hal yang tidak halal baik perkataan atau perbuatan) dan merasa
tidak butuh kepada manusia merupakan kemuliaan seorang dai dan khatib.
Al – Hasan Al – Bashri
rahimahullah berkata,
لا
يزال الرجل كريماً على الناس حتى يطمع في دينارهم، فإذا فعل ذلك استخفوا به،
وكرهوا حديثه وأبغضوه.
”Seseorang akan
senantiasa dalam keadaan mulia di hadapan manusia sampai dia merasa tamak
terhadap dinar (mata uang saat itu) mereka. Apabila dia
melakukan hal itu, maka orang-orang akan meremehkannya, tidak suka omongannya
dan sangat membencinya.”
Ditanyakan kepada
penduduk kota Bashrah, siapakah tuan kalian? Mereka menjawab,”Al-Hasan.” Lalu
ditanyakan,”Dengan apa dia menguasai kalian?” Mereka menjawab,”Orang-orang
butuh ilmunya sementara dia tidak butuh kepada dinar mereka.”
Dalam sebuah hadits
disebutkan,
ازهد
فيما عند الناس يحبك الناس
”Bersikap zuhudlah
kepada apa yang dimiliki oleh manusia niscaya mereka akan mencintaimu.”
7. Wara’ (memelihara diri dari
perkara haram) dan menjaga diri dari syubhat.
Menjauh dari
tempat-tempat yang meragukan dan jalur-jalur yang mengundang kecurigaan. Hal
itu akan lebih membebaskan dari tanggungan para dai dan khatib, lebih
menyelamatkan kehormatannya, lebih ringan bagi manusia untuk menerimanya dan
lebih menarik hati manusia untuk tunduk kepadanya.
Karena keadaan seorang
dai lebih besar pengaruhnya terhadap hati manusia daripada kata-katanya.
Demikianlah dahulu
Nabi ﷺ, para sahabatnya dan para imam petunjuk. Buku-buku biografi dan sejarah
telah memberikan contoh-contoh yang mengagumkan tentang sikap wara’ As-Salaf Ash-Shalih.
Gambaran yang ada lebih dekat kepada khayalan seandainya riwayat itu tidak
benar.
Inilah Umar bin Abdul
Aziz rahimahullah. Suatu kali ada minyak wangi yang sedang ditimbang di
hadapannya milik kaum Muslimin. Lantas dia menutupi hidungnya sehingga bau
minyak wangi itu tidak tercium oleh hidungnya lalu berkata,” Manfaat yang
diambil dari minyak wangi itu hanyalah berupa baunya.”
Dia berkata seperti
itu karena untuk menjauhkan hal itu dari dirinya. Ini sikap wara’ nya Umar bin
Abdul Aziz rahimahullah. Contoh lain. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah
memiliki kambing.
Suatu kali kambingnya
memakan makanan hewan sedikit saja kepunyaan sebagian dari para pemimpin
wilayah (amir). Maka dia tidak meminum susu kambing tersebut semenjak itu.
Abdullah Ibnul Mubarak
rahimahullah berkata,
لأن
أردّ درهماً من شبهة؛ خير من أن أتصدق بمئة ألف ومئة ألف ومئة ألف.
”Aku menolak uang satu
dirham (mata uang saat itu) yang berasal dari syubhat, itu lebih baik daripada
aku bersedekah sebesar 300 ribu dirham.”
Tentang perkara
menjauhi tempat-tempat yang diragukan dan jalur-jalur menuju ke arah munculnya
tuduhan maka itu hal yang wajib dilakukan. Hal ini karena orang yang
melakukannya tidak akan aman dari buruk sangka orang terhadap dirinya. Dia bisa
jatuh dalam pandangan orang banyak. Akibatnya, nasehat dan petuahnya tidak
bermanfaat.
Inilah Rasul kita ﷺ
yang ma’shum. Tidak akan ada seorang muslim pun yang berburuk sangka kepada
dirinya selama-lamanya.
Saat beliau melihat
ada dua orang sahabat yang melihat dirinya bersama istrinya (berjalan dalam
kegelapan malam dari masjid ke rumah, pent), beliau berkata kepada mereka
berdua,”Wanita ini Shafiyah.”
Perkataan beliau itu
terasa berat dalam hati dua sahabat tersebut. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda.
إن
الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم في الجسد وإني خشيت أن يدخل عليكما
”Sesungguhnya setan
itu menyusup di tubuh anak Adam di tempat mengalirnya darah (pembuluh darah),
dan aku khawatir setan akan memasuki kalian berdua (dengan membisikkan
persangkaan buruk, pent).”
8. Tekad yang kuat.
Semestinya para khatib
menjadi orang-orang yang besar tekadnya, tinggi jiwanya, melambung tinggi
menjauhi dunia dan hal-hal yang rendah yang menjadikan kecilnya apa pun yang
berada di bawah perkara-perkara tinggi yang menjadi penghujungnya.
Khatib semacam ini,
dengan tekad dan perhatiannya, akan meninggikan masyarakatnya. Masyarakat
tersebut akan mencelup dirinya dengan celupan agama sang khatib dan berakhlak
dengan akhlaknya.
Tekad para sahabat
yang sedemikian besar dalam berpegang teguh kepada agama adalah karena
terpengaruh dengan tekad Nabi ﷺ dan ketinggian jiwanya yang mulia, sehingga
para pemberani dari kalangan sahabat adalah orang-orang yang dekat dengan
beliau ﷺ di medan perang.
9. Berpenampilan yang baik.
Seorang khatib itu
diharapkan tampilannya itu bekerja pada hati sebagaimana perkataan itu bekerja
pada pendengaran. Jadi dia harus mempersiapkan diri sebelum khutbah dengan
bersuci, pakai minyak rambut, minyak wangi, mandi, dan berhias sesuai dengan
persyaratan Syariah dalam semua itu.
Imam Al-Mawardi
berkata,”Dianjurkan bagi seorang imam untuk berpenampilan yang baik dan
menggunakan baju yang indah lebih dari dianjurkannya para makmum untuk
mengikutinya.”
Imam An-Nawawi
berkata,”Seorang imam lebih dianjurkan daripada dianjurkannya selain imam untuk
berpenampilan yang indah dan lainnya,”
Tetapi hendaknya
seorang khatib tidak berlebihan dalam masalah pakaian dengan dalih kehormatan
dan martabat, karena sering kali hal itu memunculkan jurang pemisah antara
dirinya dan umat, terutama jika mereka adalah orang-orang dari kalangan
masyarakat biasa.
Perkara yang terbaik
adalah yang pertengahan (moderat/sedang) dan petunjuk terbaik adalah petunjuk
Muhammad ﷺ.
10. Khidmat dan tenang.
Caranya adalah dengan
menahan diri dari terlalu banyak bicara, banyak berisyarat dan bergerak dalam
hal-hal yang tidak memerlukan gerakan, menjaga diri dari biasa berolok-olok dan
melakukan hal-hal yang dijauhi oleh akal sehat dan ditolak manusia berdasarkan
kebiasaan secara umum.
Kemudian,
mengendalikan lidah dari hal-hal yang tidak senonoh, pengkhianatan, hal-hal
yang menjijikkan dan senda gurau yang dungu. Tidak ada martabat bagi orang yang
berlebihan dan tidak ada kebesaran bagi orang yang melampaui batas dalam
bersenda gurau dan melakukan hal-hal yang tidak senonoh dalam bercanda.
Hendaknya seorang
khatib menjauhi nongkrong di pasar-pasar dan di pinggir jalan tanpa ada
kebutuhan yang mendesak, karena banyak melakukan hal tersebut akan mengurangi
martabatnya.
Akan tetapi harus
waspada terhadap campur aduk antara sikap khidmat dan tenang dengan sikap
sombong dan ujub terhadap diri sendiri, serta merasa superior atas yang lain.
Tujuan dari pembahasan
kami bukanlah menjadikan seorang khatib itu sebagai pribadi yang terlempar ke
dunia khayalan yang tidak bisa bergaul dengan mudah dengan orang lain atau
tidak mudah untuk diajak berinteraksi dan tidak ada seorang pun yang berani
menyapanya atau berbicara dengannya.
Inilah Rasul kita ﷺ,
orang yang paling khidmat, tenang, terhormat dan paling berwibawa dalam jiwa
para shahabatnya. Dahulu, umat Islam biasa mendatanginya, menggandeng
tangannya, kemudian beliau menyertai umat hingga menyelesaikan kebutuhan
mereka.
11. Menjaga sunnah
Menjaga sunnah adalah
dengan mengikuti sunnah secara lahir dan batin. Hal ini akan lebih menarik hati
masyarakat untuk lebih menerima apa yang khatib serukan berupa mengikuti
perintah Rasulullah ﷺ, dan sunnahnya serta syariatnya.
(Sumber: Copas)