MEMAHAMI FIKIH
A. Pengertian Fiqh.
Secara bahasa, arti fiqh adalah al-fahmu
(paham atau mengerti). Dan secara istilah, maknanya adalah mengetahui
hukum-hukum syar’i yang dihasilkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
B. Madzhab-Madzhab Fiqh dan Sumber
Pengambilannya.
Dalam
hal ini, di antara aliran-aliran fiqh yang banyak dijadikan acuan kaum muslimin
ada empat : madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab
Hanbali. Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya masih ada lagi madzhab-madzhab
yang diakui para salaf (baca : ahlu sunnah wal-jama’ah), contohnya madzhab
Al-Auza’i, madzhab Ats-Tsauri, madzhab Al-Laits, madzhab Azh-Zhahiri dan
madzhab Ath-Thabari. Hanya saja dengan semakin berputarnya zaman, kini
madzhab-madzhab tersebut tidak banyak berkembang lagi tidak banyak dipakai
oleh kebanyakan kaum muslimin saat ini khususnya.
Awal
yang dijadikan patokan tiap-tiap imam-imam madzhab dalam berijtihad
menyimpulkan suatu hukum adalah nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, kemudian ijma’,
dan setelah itu qiyas. Sedang selebihnya merupakan dalil-dalil yang sifatnya
mukhtalaf (diperselisihkan), seperti qaul shahaby, istihsan, ‘urf, al-mashalih
al-mursalah....dan lain sebagainya.
Mereka
imam-imam madzhab, metode dalam menyimpulkan suatu hukum adalah secara
berurutan, sebagai manhaj bagi mereka dalam menetapkan sebuah hukum dari
dalil-dalilnya meskipun satu sama lain di antara mereka didapatkan perbedaan
dan ketidaksamaan.
Oleh
karena itu, mereka berempat adalah tauladan utama bagi setiap orang yang ingin
menempuh langkah berijtihad secara benar dan selamat. Mereka merupakan suri tauladan dalam keilmuan, istiqomah
dan amal sholih. Terbukti dengan
adanya legitimasi dari seluruh kaum muslimin di berbagai masa sesudah mereka.
1. Madzhab Hanafi.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu
Hanifah, Nu’man bin Tsabit Al-Kufy yang hidup di Kufah-Irak. Lahir pada tahun
80 Hijriyah. Imam Abu Hanifah dikenal sebagai pendiri Madrasah Qiyas bersama
dua sahabatnya, Imam Abu Yusuf A-Qadhi dan Imam Muhammad bin Hasan
Asy-Syaibani. Dan beliau wafat pada tahun 180 Hijriyah.
Untuk sekarang madzhab ini banyak
digunakan di negara-negara Asia Bagian Selatan dan Barat Daya, seperti
Pakistan, India, Afghanistan, Libya, Lebanon dan Irak. Juga di Turki, Sudan
dan Negeria.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh
dalam madzhab ini ada enam :
a.
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Qaul shahaby (pendapat sahabat RA)
d. Jika tidak didapatkan qaul shahaby,
beralih untuk berijtihad tanpa mengambil qaul tabi’in.
e. Istihsan dan Qiyas.
f. ‘Urf.
2. Madzhab Maliki.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Abdillah, Malik bin
Anas Al-Anshary yang hidup di
Pada zamannya dulu, madzhab ini berkembang pesat di Madinah
dan Mesir. Adapun sekarang, tidak banyak berkembang kecuali hanya di beberapa
negara seperti Maroko dan sekitarnya di belahan Afrika.
Sumber pengambilan hukum fiqh dalam madzhab ada sebelas :
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Ijma’ para sahabat RA.
d. Fatwa para sahabat RA.
e. Qiyas.
f. Istihsan.
g. Al-Mashalih Al-Mursalah.
h. Sadd Adz-Dzara-i’.
i. Al-Istishab.
j. Syar’u Man Qablana (syari’at umat
terdahulu).
k. ‘Urf.
3. Madzhab Syafi’i.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu
Abdillah, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Seorang berketurunan Quraisy yang
bertemu nasabnya dengan Rasulullah SAW. Lahir pada tahun 150 Hijriyah dan hidup
berpindah-pindah, mulai dari Palestina, Makkah, Madinah, Yaman, Irak, dan wafat
di Mesir pada tahun 204 Hijriyah. Imam Syafi’i dikenal sebagai orang yang
memadukan antara metode fiqh Madrasah Qiyas dan Madrasah Al-Hadits.
Hingga sekarang madzhab ini banyak
dijadikan acuan fiqh di berbagai negara, khususnya di Asia Bagian Tenggara
seperti Malaysia, Indonesia dan Philipina.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh
dalam madzhab ini ada lima :
a. Al-Qur’am dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Ijma’ para sahabat RA.
d. Memilih pendapat di antara para
sahabat jika terjadi beda pendapat..
e. Qiyas.
Dan juga telah dinukil dari Imam
Syafi’i, bahwa -setelah qiyas- beliau juga bersandar kepada ‘urf, istihsan dan
al-mashalih al-mursalah.
4. Madzhab Hanbali.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu
Abdillah, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Asy-Syaibani yang hidup di
Baghdad-Irak. Lahir pada tahun 164 Hijriyah. Imam Ahmad dikenal sebagai Imam
Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Selain ahli
fiqh, beliau juga seorang ahli hadits yang hafal sekitar satu juta hadits.
Wafat pada tahun 241 Hijriyah.
Tidak banyak dari kaum muslimin yang
berpegang dengan madzhab ini, melainkan hanya di Saudi Arabia dan di beberapa
daerah saja.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh
dalam madzhab ini ada lima :
a. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Fatwa sahabat RA.
c. Memilihkan salah satu pendapat yang
diperselisihkan para sahabat.
d. Beramal dengan hadits mursal atau
dha’if jika tidak didapatkan yang lainnya, dengan syarat perawi yang ada di
dalamnya bukan perawi yang terkenal kedustaan atau kefasikannya, dan juga tidak
didapatkan dalil yang bertentangan dengannya.
e. Menggunakan qiyas di saat terpaksa.
Dan dalil-dalil
di atas ini merupakan prinsip ijtihad yang dipakai dalam madzhab Hanbali yang
telah menjadi kesepakatan para ulama’. Dan selebihnya, konon madzhab ini juga
menggunakan istish-hab, istihsan, al-mashalih al-mursalah, dan sadd
adz-dzara-i’, yang masih diperselisihkan para ulama’.
Keterangan
Istilah-istilah Ushul Fiqh
Ijma’ :
Kesepakatan para mujtahid dalam suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i yang bersifat amaly
(praktisi). Para ulama telah bersepakat, bahwa ijma’ dapat dijadikan
argumentasi untuk menetapkan hukum syar’i. Dan ijma’ yang dipakai adalah ijma’
para ulama’ jumhur. Seperti ijma’ para sahabat yang melarang seorang laki-laki
melakukan poligami dengan bibi isteri dari ayah atau ibu.
Qiyas :
Menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara membandingkannya dengan
sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Sebagai contoh Rasulullah
SAW menghubungkan antara berkumur dalam keadaan shiyam dengan mencium isteri
dengan cara membandingkan antara keduanya. Dua
hal tersebut mengandung dua kemungkinan, antara membatalkan dan tidak
membatalkan shiyam. Memang berkumur dan mencium itu sendiri tidaklah termasuk
kategori berbuka, tetapi boleh jadi hal itu membatalkan shiyam. dengan cara
membandingkan dua hal tadi, akan melahirkan kesamaan hukum. Apabila berkumur
tidak membatalkan shiyam, maka demikian halnya dengan mencium, tidaklah membatalkan
shiyam.
Istihsan :
penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah
yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpangan itu. Contoh : seluruh tubuh wanita adalah aurat dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Namun kemudian diperbolehkan melihat sebagian anggota badan
tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk kepentingan pemeriksaan oleh
seorang dokter kepada pasiennya. Di sini terdapat pertentangan kaedah, bahwa
seorang wanita adalah aurat, karena memandang wanita akan mendatangkan fitnah.
Kedua, adanya suatu sifat yang kemungkinan besar akan mendatangkan masyaqqah
(kesulitan) dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika dalam pengobatan.
Dalam hal ini dipakai ‘illat (alasan) yang berupa at-taysir (menudahkan).
Al-Mashalih Al-Mursalah :
mashlahat-mashlahat yang bersesuaian dengan maqashid
asy-syari’ah (tujuan-tujuan syari’at) Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil
yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan mashlahat tersebut.
Jika mashlahat didukung oleh sumber dalil yang khusus, maka termasuk ke dalam
qiyas dalam arti umum. Dan jika terdapat ashl khash (sumber dalil yang khusus)
yang bersifat membatalkan, maka mashlahat tersebut menjadi batal. Mengambil
mashlahat yang yang terakhir ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syar’i. Dan
Imam Malik adalah imam madzhab yang menggunakan dalil al-mashalih al-mursalah.
Untuk menetapkan dalil ini, ia mengajukan
tiga syarat :
a. Adanya persesuaian antara mashlahat yang dipandang
sebabagi sumber dalil yang berdiri sendiri dengan maqashid asy-syari’ah.
Sedangkan maqashid asy-syari’ah itu di antaranya meliputi keselamatan dien,
jiwa, akal, keluarga dan keturunan serta harta benda.
b. Mashlahat itu harus masuk akal.
c. Penggunaan dalil
mashlahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi.
Dalam pengertian, seandainya mashlahat yang dapat diterima akal itu tidak
diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Imam Malik dan golongan Hanbali
berpendapat bahwa mashlahat dapat diterima dan diijadikan sumber hukum selama
memenuhi semua syarat-syarat di atas. Sebab pada hakekatnya keberadaan
mashlahat adalah dalam rangka merealisasikan maqashid asy-syari’ah meskipun
secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya. Hanya saja golongan
madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i tidak menganggap al-mashalih al-mursalah
sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukkannya ke dalam kategori qiyas.
Jika di dalam suatu mashlahat tidak ditemukan nashyang bisa dijadikan acuan
qiyas, maka mashlahat tersebut di anggap batal, tidak diterima. Oleh karena itu
al-mashalih al-mursalah termasuk sumber hukum yang masih dipertentangkan di
antara ulama’ ahli fiqh. Namun jumhur fuqaha’ sepakat bahwa mashlahat dapat
diterima dalam fiqh Islam. Dan setiap mashlahat wajib diambil sebagai sumber
hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan syahwat dan hawa nafsu,
tidak bertentangan dengan nash serta maqashid asy-syari’ah.
Contoh dari al-mashalih al-mursalah
adalah praktek para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam mengumpulkan Al-Qur’an
ke dalam beberapa mush-haf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan di masa
Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan ini tidak
lain kecuali semata-mata karena mashlahat, yaitu menjaga Al-Qur’an dari
kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena wafatnya sejumlah besar
huffazh (para penghafal Al-Qur’an) dari generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Selian itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah : “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al-Hijr : 9)
‘Urf
(tradisi) :
Bentuk-bentuk mu’amalah yang telah menjadi
adat kebiasaan dan telah berlangsung konstan di tengah masyarakat. ‘Urf ini
merupakan satu sumber hukum yang diambil oleh madzhab Hanafi dan Maliki, yang
berada di luar lingkup nash. ‘Urf terbagi menjadi dua macam :
a. ‘Urf yang fasid (rusak/jelek) yang tidak bisa
diterima, yaitu ‘urf yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contohnya
adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan,
seperti minum arak atau memakan riba, maka ‘urf tersebut ditolak.
b. ‘Urf yang shahih (baik/benar), yaitu ‘urf yang bisa
diterima dan dipandang sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam karena tidak
bertentangan dengan nash. Sebagai contoh ialah larangan menerima gaji bagi guru
ngaji Al-Qur’an atau orang yang berjuang menegakkan syi’ar Islam. Alasannya
karena hal itu merupakan ibadah, sedang ibadah tidak tidak pantas mendapatkan
imbalan berupa gaji. Akan tetapi ketika masyarakat tidak mau mengajar Al-Qur’an
atau mensyia’rkan dienul Islam kecuali harus diberi imbalan gaji, maka para
ahli fiqh memperbolehkan mereka menerima gaji agar eksistensi Al-Qur’an tetap
terjaga dan syi’ar Islam tetap tegak di muka bumi seperti adzan dan jama’ah di
masjid-masjid.
Istish-hab :
Dalil yang memandang tetapnya suatu
perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Dalam pengertian, bahwa
ketetapan di masa lampau, berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk
masa sekarang dan masa mendatang. Bilamana bertentangan dengan dalil lain,
istish-hab harus dinomorduakan. Istish-hab merupakan alternatif terakhir untuk
fatwa (setelah tidak ditemukan pada sumber-sumber lain). Apabila hukum asal
suatu perkara adalah mubah (diperbolehkan) seperti makanan, maka hukumnya
adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal
pada suatu perkara adalah haram seperti pergaulan antara pria dan wanita, maka
hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memperbolehkannya, misalnya
melalui ikatan pernikahan. Sebagai contoh : jika diketahui si fulan adalah
pemilik suatu barang, maka hak milik itu tidak berpindah ke tangan orang lain
kecuali ditunjukkan bukti atas kepemilikannya.
Syar’u man qablana (syari’at umat
terdahulu):
Jika syari’at umat terdahulu telah
dinaskh (dihapus hukumnya) berdasarkan dalil hukum Islam, maka tidak bisa
diambil. Begitu pula apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan
hukum berlaku khusus untuk kaum tertentu, maka tidak bisa dijadikan hujjah
dengan kesepakatan ulama’. Contoh : diharamkannya segala binatang yang berkuku
atas kaum Yahudi, dan diharamkannya lemak dari sapi dan domba atas mereka
selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar.
Namun apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu hukum berlaku umum
untuk segala zaman, maka bisa dijadikan hujjah sesuai yang diinginkan syari’at.
Contoh : hukum qishash, yaitu jiwa yang terbunuh
dibalas dengan jiwa
Wallohu a'lam bis showab.