Anda Mau Sholat
Seputar masalah niat.
Niat adalah
kehendak dan tekad untuk melakukan sesuatu dan tempatnya adalah didalam hati,
bahkan pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan lisan. Dan untuk memperjelas
masalah ini akan saya utarakan pendapat para Ulama’ baik madzhab Maliki,
Hanafi, Syafi’I dan Hanbali.
1. Hukum melafadzkan niat
sebelum shalat.
Niat merupakan syarat sahnya suatu amalan, demikian pula dengan shalat. Ia
merupakan inti/induknya ibadah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para Ulama’.
Adapun yang menjadi permasalahan
bagi kita adalah tentang pengucapannya.namun pada perkara ini tidak ada dalil
syar’i yang menjelaskan bahwa niat harus diucapkan sebagaimana kebanyakan dari
kaum muslimin yang melakukannya.[1]
Dalil yang ada adalah yang mewajibkan
niat sebelum melakukan suatu amalan ibadah. Sebagaiman sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن
الخطّاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله يقول ,” إنّما الأعمال بالنّية و إنّما
لكلّ امرئ ما نوى ...... ".
Artinya: “Dari
Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'Anhu ia berkata:
saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya
suatu amalan itu tergantung dengan niatnya. Dan seseorang itu tergantung sesuai
apa yang ia niatkan(di dalam hatinya)……”. [2]
Imam
an-Nawawy Rahimahullah menjelaskan bahwa tempat niat itu ada di dalam hati,
maka tidak ada perintah untuk mengucapkannya. Akan tetapi disunnahkan agar
lisan membantu hati untuk menghadirkannya. Dan disyariatkan pula penentuan dan
pembedaannya untuk melaksanakan suatu amalan, maka tidak cukup bagi orang yang
ingin shalat hanya berniat saja tanpa menentukan dan membedakan shalat apa yang
akan dilaksanakannya, seperti: shalat dhuhur, ‘ashr dll. [3]
Madzhab
Syafi’i, Hambali dan Maliki bersepakat bahwa disunnahkan mengucapkan niat bagi
orang yang shalat karena hal itu sebagai perhatian hati. Jika apa yang
diniatkan berbeda dengan apa yang diucapkan maka hal itu tidak apa-apa, karena
telah diketahui bahwa yang ditentukan pada niat itu adalah apa yang ada di
dalam hati. Adapun pengucapannya dengan lisan bukan merupakan niat, akan tetapi
usaha untuk perhatian hati sehingga kesalahan dalam mengucapkan tidak apa-apa
selama apa yang diniatkan di dalam hati sesuai dengan apa yang diinginkan.
Madzhab Hanafi menyatakan bahwa
mengucapkan niat merupakan amalan yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam(bid’ah) akan tetapi diperbolehkan untuk
menghilangkan keraguan. [4]
Al-Imam Asy-Syafi’I berkata: was-was dalam niat sholat dan thoharoh
termasuk kebodohan terhadap syareat dan membingungkan akal.[5]
Hal yang sama pula telah disampaikan
oleh Imam an-Nawawy Rahimahullah bahwa Imam Syarfi’i Rahimahullah telah berkata
tentang haji bahwa apabila seseorang telah berniat untuk melaksanakan haji dan
umrah maka diperbolehkan walaupun tidak diucapkan, namun hal ini tidak sama
dengan shalat maka harus mengucapkannya. Yang dimaksukan oleh beliau adalah mengucapkan Takbir ketika akan
melaksanakan shalat bukan mengucapan niat.
Namun orang yang shalat dengan
mengucapkan niat akan tetapi belum diniatkan di dalam hati maka belum dianggap
melaksanakan shalat menurut Ijma’ para Ulama’. [6]
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
menyatakan bahwa mengucapkan niat tidak diwajibkan dan tidak pula disunnahkan
menurut kesepakan para Ulama’, akan tetapi merupakan suatu amalan yang
bertentangan dengan syariat Islam(bid’ah). Apabila seseorang mengucapkannya
diiringi dengan keyakinan bahwa hal itu merupakan bagian dari syariat Islam
maka orang tersebut sangat bodoh dan sesat(terhadap ajaran dinul Islam), dan
harus dita’zir atau dihukum. Hal ini dilakukan apabila telah disampaikan pada
pelakunya penjelasan dan hujjah yang jelas. Bahkan jika yang dilakukan itu
dapat mengganggu orang yang shalat di sebelahnya dan dilakukan berulang-ulang
maka ia berhak untuk mendapatkan hukuman yang lebih berat dan keras lagi.
Beliau juga menyatakan bahwa
kebanyakan dari kaum muslimin telah berpaling dari madzhab Imam Syafi’i
Rahimahullah. Beliau menyatakan bahwa seseorang yang shalat harus
mengucapkannya sebelum melaksanakan shalat. Mereka mengira bahwa yang
dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah adalah mengucapkan niat, padahal
para murid atau pengikut madzhabnya (yang lebih tahu tentang beliau) membantah
perkataan atau persangkaan yang mereka lakukan dengan menyatakan bahwa yang
dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah adalah mengucapkan Takbir sebelum
shalat dan bukan mengucapkan niat. [7]
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam ingin melaksanakan shalat maka beliau mengucapkan Takbir dan
tidak mengucapkan sesuatu kata pun sebelumnya, termasuk niat. Adapun kebanyakan
dari kaum muslimin pada saat sekarang ini telah menyalah artikan perkataan Imam
Syafi’i Rahimahullah yang mengatakan bahwa sesungguhnya shalat bukanlah seperti
shaum, tidaklah seseorang yang melaksanakannya kecuali harus mengucapkannya.
Mereka telah menyangka bahwa yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i Rahimahullah
adalah mengucapkan niat, akan tetapi ternyata yang dimaksudkan oleh beliau
adalah mengucapkan Takbir ketika akan memulai shalat. [8]
2. Lafadz usholli dan nawaitu.
* Betulkah lafadz niat (ushalli....) dalam shalat merupakan
sunnah ?
Al Imam An Nawawi mengatakan “Abu
Abdillah Al Zubairi yang termasuk ulama madzhab syafe`I ,beliau telah keliru
ketika menyangka bahwa imam Syafe`I telah mewajibkan untuk melafadzkan niat.
Sebab kekeliruanya itu ialah kurang bisanya menangkap dan memahami
perkataan Imam Syafe`I dengan benar.
Berikut ini adalah redaksi yang diutarakan imam Syafe`I “jika seorang berniat
menunaikan ibadah haji atau umroh dianggap cukup sekalipun tidak
dilafadzkan,tidak seperti shalat ,tidak dianggap sah kecuali dengan " النطق "an nuthqi. Az Zubairi mengartikannya
dengan melafadzkan didalam shalat,sedangkan yang dimaksud dengan an nuthqi disini adalah takbir.[9]
Imam Nawawi berkata “beberapa rekan kami
berkata : “orang yang mengatakan an
nuthqi dengan melafadzkan niat dalam shalat, telah keliru, akan tetapi yang
dikehendaki oleh imam Syafe`i dengan An Nuthqi
adalah takbir.
Kesimpulan
Dari keterangan diatas jelaslah sudah
bahwa melafadzkan niat sebelum Shalat bukan ternasuk tuntunan Rasulullah maupun
para Sahabat Rasulullah, dan tidak pula perkataan ulama yang empat (Abu Hanifah imam Malik, Syafe`I,
Ahmad bin Hanbal). Namun hal tersebut bersumber dari pengikut Imam Syafe`I yang
salah dalam memahami ucapan beliau yaitu An Nutqi yang makna sebenarnya yang
dimaksud oleh Imam Syafe`I adalah Takbir
bukan melafadzkan niat, dan Walhasil bahwa melafadzkan niat “Ushalii ....” merupakan perbuatan Bidah yang harus kita jauhi .Wallohu A`lam
Bisshowab
b.Ketika berdiri
1. Hukum mengangkat kedua tangan ketika takbir .
Dalam menghukumi mengangkat kedua
tangan ketika takbir para Ulama’ berbeda pendapat, diantaranya yaitu :
Menurut Jumhur : Hukumnya Sunnah
Menurut Abu Dawud, Jama’ah Sahabat : Hukumnya
Fardlu.
Diantara mereka juga ada yang mewajibkan ketika
takbiratul Ihram saja dan ada juga yang menambahkan yaitu ketika Istiftah,
ketika turun untuk rukuk dan ketika bangun dari rukuk.
Adapun sebab mereka
berselisih dalam masalah ini, yaitu mereka bersandar pada dua hadits dibawah
ini:
Yang pertama: Bersandar kepada hadits Abu Hurairah
Radliyallahu 'Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya: “ Bertakbirklah!”, dan
beliau tidak menyuruhnya untuk mengangkat kedua tangan.”
Yang Kedua: Hadits Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma
"
أنه كان يرفع يديه إ ذا افتتح الصلاة ". أخرجه البخاري
Artinya: “Sesungguhnya
beliau(Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam) mengankat kedua tanganya ketika
membuka sholat(Takbirotul Ihram).” (HR. Bukori)[10]
Posisi tangan ketika takbir
Ada
beberapa posisi tangan dalam bertakbir, diantaranya :
Tangan dihadapan bahu/pundak. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
" عن ابن عمر قال : كان رسول الله
صلى الله عليه و سلم إذا قام للصلاة رفع
يديه حتي تكون
حذوي منكبيه ثم كبر, فإذا أراد أن يركع فعل مثل ذ لك, فإذا رفع من الركوع فعل مثل
ذلك ولا يفعله حين يرفع رأسه من السجود ".
( رواه مسلم )
Artinya: “Dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma beliau berkata:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila beliau berdiri untuk sholat,
beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya berada di depan kedua
bahunya, kemudian beliau bertakbir. Dan apabila beliau hendak ruku’ beliau
berbuat seperti itu dan apabila bangun dari ruku’ beliau juga berbuat seperti
itu dan beliau tidak mengerjakan yang seperti itu ketika beliau bangun
darinya”. [11]
Begitu juga
menurut Madzhab Syafi’ie bahwa mengangkat kedua tangannya di depan bahunya”. [12]
Dan disebutkan dalam hadits yang
lain
" عن عبد الجبار بن وائل عن أبيه أنه أبصر النبي صلى الله عليه و سلم حين فام إلي الصلاة رفع يديه حتي كانتا بحيال منكبيه. وحاذي بإبهامه أذنيه ثم كب
"ر. رواه أبو داود
Artinya: “Dari
Abdul Jabbar bin Wa’il dari bapaknya Radliyallahu 'Anhuma, bahwasanya dia telah
melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
ketika beliau berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua tangannya
sampai keduanya berada di depan bahunya. Dan ibu jarinya berada di depan telinganya, kemudian beliau bertakbir”. [13]
Maksud hadits di atas yaitu:
Ibu jarinya di depan telinganya, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
menjadikan ibu jarinya di depan kedua telinganya.
Imam al-Mundzir
Rahimahullah berkata: “Abdul Jabbar bin Wa’il Radliyallahu 'Anhu belum pernah
mendengar dari bapaknya dan keluarganya Majhul”. [14]
Diriwayatkan pula dari
Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, bahwasanya beliau
mengangkat kedua tangannya di depan pundaknya ketika Iftitah, dan selain itu
beliau tidak mengerjakan. (HR. Abu Dawud) [15]
Tangan dihadapan telinganya
" عن مالك بن
الحويرث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا كبر رفع يديه حتي يحاذي بهما
أذنيه و إذا ركع رفع يديه حتي يحاذي بهما أذنيه وإذا رفع رأسه من الركوع, فقال :
سمع الله لمن حمده فعل مثل ذلك ". ( رواه مسلم)
Artinya: “Dari Malik Al Huwairits Radliyallahu 'Anhu:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila beliau bertakbir
beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya berada di depan telinganya,
dan apabila beliau rukuk beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya
berada di depan telinganya, begitu juga ketika beliau bangun dari ruku’, seraya
mengucapkan: “Sami’allahu Liman Hamidah“ beliau juga mengerjakan seperti itu“. [16]
Madzhab Hanafiyah mengatakan: “Hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin
Huwairits Radliyallahu 'Anhu sebagaimana disebutkan dalam shohih muslim yaitu
dengan lafadz: “Sampai keduanya dihadapan sebagian telinganya”.
Dan diriwayatkan dari Ashim bain
Kalib Radliyallahu 'Anhu dari bapaknya dari Wa’il bin Hajar Radliyallahu 'Anhu
sebagaiman disebutkan dalam sunan Abu Dawud Rahimahullah dengan lafadz: ”Sampai
keduanya di depan telingannya”.
Imam Ibnu Hajar
al-Asqalany mengatakan: “Yang rajih/paling benar yaitu pendapat yang pertama,
yaitu mengangkat kedua tangannya di hadapan pundaknya, karena isnadnya lebih
shohih’. [17]
Imam an-Nawawi berkata: “Adapun bentuk mengangkat kedua tangan. yang
masyhur di kalangan madzhab kami dan jumhur yaitu: Hendaknya mengangkat kedua
tanganya di hadapan pundaknya, ujung-ujung jarinya berada di depan telinganya
atau di atasnya dan ibu jarinya sejajar dengan telinga bagian bawah(tempat
anting-anting) dan kedua telapak tangannya
sejajar dengan pundak’. Inilah yang dimaksud dengan berada di depan
pundaknya. [18]
Kesimpulan : Hukum mengangkat kedua
tangan ketika takbir yaitu: ada yang mengatakan sunnah dan ada yang mengatakan
fardlu.
Posisi tangan ketika takbir ada dua yaitu :
Di depan bahu/pundak.
Di depan atau sejajar dengan telinga.
2. Posisi dan tempat-tempat disyariatkan mengangkat tangan
Ada
4 tempat yang di dalamnya disyariatkan mengangkat kedua tangan ketika takbir,
adapun tempat-tempat tersebut yaitu: ketika takbiratul ihram, ketika akan
ruku’, ketika bangun dari ruku’ dan ketika bangun dari tasyahud awal.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu
'Anhuma sebagai berikut :
عن
عبدالله بن عمر رضي الله عنهما قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا قام في الصلاة رفع يديه حتي يكونا حذوي
منكبيه وكان يفعل ذلك حين يكبر للركوع ويفعل ذلك إذا رفع رأسه من الركوع ويقول :
سمع الله لمن حمده, ولا يفعل ذلك في السجود. رواه البخاري
Artinya: “ Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata:
“Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, jika beliau
berdiri untuk sholat, beliau mengangkat kedua tanganya sampai keduanya
dihadapan pundaknya, dan beliau juga mengerjakan seperti itu ketika bertakbir
untuk ruku’, dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ dan beliau mengucapkan:
“Sami’allahu liman Hamidah(Allah Ta'ala maha mendengar orang yang memujinya)“. Dan beliau tidak mengerjakan seperti itu
ketika beliau akan sujud.” [19]
Imam Muslim Rahimahullah
berkata: “Dan ia tidak berbuat seperti itu ketika mengangkat kepalanya dari
sujud.[20]
Imam Malik dan Asy Syafi’i
menambahkan: “Mengangkat tangan ketika bangun dari tasyahud awal.” Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam sebagai berikut
" عن نافع أن ابن عمر كان إذا دخل في الصلاة كبر ورفع يديه,
وا إذا ركع رفع يديه, وإذا قال :سمع الله لمن حمده رفع يديه, وإذا قام من الركعتين
رفع يديه ". رواه البخاري
Artinya: “Diriwayatkan dari Nafi’Rahimahullah,
sesungguhnya Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma apabila beliau masuk masjid, beliau
takbir dan mengangkat kedua tangannya, dan jika beliau ruku’, beliau mengangkat
kedua tangannya, dan jika beliau mengucapkan: ”Sami’allahu Liman Hamidah“,
beliau mengangkat kedua tangannya, dan jika beliau bangun dari dua
rakaat(tasyahud awal), beliau mengangkat kedua tangannya.”(HR. Bukhori) [21]
Ibnu Hajar Al
Asyqolany Rahimahullah berkata: “Yaitu ketika bangun dari Tasyahud Awal”. [22]
Pendapat para Ulama’
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata: “Ijma’ ummat (para Shahabat)
menyatakan: “Mustahab/sunnah mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, adapun
selain takbiratul ihram di sana banyak perbedaan pendapat”.
Abu Hanifah,
Jama’ah Ahlu Kuffah Rahimahumullah menyatakan: “Tidak disukai, kecuali ketika
takbiratul ihram, sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Malik Rahimahullah”.
Imam Abu Dawud Rahimahullah: “Wajib mengangkat tangan ketika
takbiratul ihram”. [23]
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam al-Mughni: “Kami tidak
mengetahui adanya ikhtilaf atau perselisihan dalam disukainya mengangkat kedua
tangan ketika membuka shalat (takbiratul ihram)”.
Imam Ibnu Mundzir Rahimahullah berkata: “Ahlu ilmi tidak berselisih
bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengangkat kedua tangannya ketika membuka sholat”. [24]
Imam Muhammad bin Nashir Al Marwazi Rahimahullah berkata: “Ulama’
Anshor, kecuali Ahli Kuffah berijma’ bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan
ketika ruku’ dan bangun darinya”.
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata: “Tidak seorang pun
meriwayatkan dari Malik Radliyallahu 'Anhu tentang meninggalkan mengangkat
kedua tangan ketika ruku’ dan bangun darinya kecuali Ibnu Qossim Rahimahullah”.
Adapun orang yang memilih mengangkat kedua tangannya ketika rukuk
dan bangun darinya mereka bersandar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar Radliyallahu 'Anhuma, sebagaimana sudah disebutkan diatas.
Pengikut Imam Hanafi mereka mengerjakan apa yang diriwayatkan
Mujahid Rahimahullah bahwa dia pernah shalat di belakang Ibnu Umar Radliyallahu
'Anhu dan dia tidak melihatnya mengerjakan hal yang seperti itu”.
Dari Malik bahwa Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma kalau melihat
seseorang tidak mengangkat kedua tangannya ketika ruku’ atau bangun darinya,
maka beliau melemparnya dengan kerikil”.
Adapun orang yang berpendapat tidak mengangkat tangan ketika akan ruku’ dan bangun darinya, mereka bersandar pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Radliyallahu 'Anhuma sebagai berikut
" أنه رأي النبي صلى الله عليه و سلم يرفع يديه عند الافتتاح ثم لا يعود ".
أخرجه أبو داود
Artinya: “Bahwa beliau melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam mengangkat kedua tangannya
ketika membuka shalat, tidak mengulanginya selain itu’.(HR. Abu Dawud) [25]
Akan tetapi hadits ini ditolak oleh Imam Syafi’ie Rahimahullah.[26] Imam asy Syafi’i, Ahmad, Jumhur Ulama’ (para Shahabat dan setelahnya) menyatakan: “Mustahab/sunnah mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan ketika bangun darinya”.
Hukum takbir makmum masbuq yang
mendapati imam dalam keadaan ruku’.
Barang siapa yang datang dan mendapatkan imam bertakbir dengan
takbiratul ihram, maka hendaklah mengikutinya seperti keadaan imam dan tidak
dihitung mendapatkan satu rekaat sampai mendpatkan rukuk bersamanya baik mendapatkan
rukuk itu sempurna atau kurang ( tangannya baru turun menyentuh lutut ) sebelum
imam berdiri. dari Abi Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata :Rasulullah
shalallahu 'alaihi wa salam bersabda : Jika kalian mendatangi shalat sedang
kami sedang sujud maka sujudlah kalian dan janganlah menunggu, barang siapa
mendapatkan satu rekaat maka dia telah mendapatkan shalat [27]
Bagi makmum yang masbuq maka baginya melakukan gerakan sebagaimana
yang diperbuat imam ketika duduk terakhir maka hendaklah
duduk bersamanya berdo’a dan tidak berdiri sampai imam salam kemudian bertakbir
ketika berdiri untuk menyempurnakan shalat.[28]
Hukum membaca ta’awudz dalam shalat.
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwasanya
membaca ta’awudz adalah sunnah dan tidak berdosa bagi orang yang
meninggalkannya. Karena ta’awudz bukanlah suatu kewajiban.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata dalam kitabnya “al-Adzkar”:“Ta’awudz
adalah mustahab/sunnah, dan bukan suatu kewajiban, apabila ditinggalkan maka
tidaklah berdosa..ataupun shalatnya menjadi batal dan tidaklah diganti dengan
sujud sahwi. Ta’awudz adalah sunnah di setiap shalat baik shalat wajib ataupun
nawafil/sunnah disunnahkan juga untuk
dibaca dalam shalat jenazah.dan inilah pendapat yang paling benar.”
Menurut ijma’ para Ulama: “Ta’awudz
disunnahkan juga bagi pembaca al-Qur’an di luar shalat”. Wallahu a’lam.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Membaca ta’awudz sebelum membaca
al-Quran dalam shalat adalah sunnah.”
Diriwayatkan dari ar-Razi Rahimahullah dari Imam Atho’ Rahimahullah
ia berkata: “Ta’awudz adalah wajib
dibaca bagi yang membaca al-Qur’an baik ia dalam keadaan shalat ataupun di luar
shalat.beliau juga mengambil pendapat dari Ibnu Sirin Rahimahullah. Ibnu Sirin
Rahimahullah berkata: “Apabila ta’awudz dibaca sekali maka cukuplah dan
jatuhlah kewajiban mereka berhujjah denganb dzahirnya ayat karena dapat menolak
gangguan setan dan tidaklah sesuatu yang menjadikan kepada hal yang wajib
kecuali ia dihukumi dengan wajib dan
taawudz adalah salah satunya.
Sebagian Ulama’ memandang bahwa ia
adalah wajib bagi Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam saja bukan bagi umatnya.
Imam Malik Rahimahullah berkata: “ Ta’awudz tidak dibaca dalam
shalat wajib, namun ta’awudz itu dibaca dalam shalat di awal bulan Ramadhan.”
Ta’awudz dalam sholat
Sebagian Ulama’ ada yang berpendapat ta’awudz
dibaca ketika shalat jahriyah saja dan ada yang berpendapat dibaca ketika
shalat sirr. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah ta’awudz dibaca dan
tidak jahr, demikian pendapat dari Ibnu Umar Radliyallahu 'Anhuma, Imam Abu
Hanifah dan Imam Asy Syafi’i Rahimahumallah, sedangkan yang berpendapat jahr
adalah Abu Hurairoh Radliyallahu 'Anhu sedangkan Abu Laila Rahimahullah
berkata: “Sirr ataupun jahr sama saja dan keduanya adalah benar.”
Hukum basmalah pada fatihah dalam shalat.
Para Ulama’ banyak berelisih pendapat dalam hal basmalah.
Apakah ia hanya ayat dalam surat al-Fatihah saja atau termasuk ayat pada surat-surat yang
lain, atau tidak termasuk ayat baik dalam surat al-Fatihah maupun dalam
surat-surat yang lain.
Pendapat sebagian Ulama’
menggolongkan basmalah sebagai ayat yang sempurna dari setiap surat di
dalam al-Qur’an. Pendapat ini dipegang oleh sebagian Shahabat Nabi shalallahu
'alai wasalam, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, dan Ibnu Jubair Radhiyallahu 'anhum.
Begitu juga dari kalangan Tabi’in, seperti Thawus, ‘Atha’, Mahkul, Ibnu Mundzir
serta ulama’ yang lainnya.
Adapun bahwa basmalah hanya
ayat di dalam surat al-Fatihah adalah Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad,
sebagian Ulama’ Kuffah maupun Makkah. [29]
Pendapat ini berdasarkan hadits riwayat ad-Dar Quthny dari Shahabat Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam beliau
bersabda: ”Apabila kalian membaca alhamdulillahi rabbil ‘alamin maka
bacalah bismillahir rahmanir rahim karena sesungguhnya ia(basmalah) itu ummul
kitab serta as-sab’ul matsanni dan basmalah itu meriupakan salah satui
dari ayatnya.” [30]
Sedangkan pendapat yang
menyatakan bahwa basmalah itu
termasuk ayat dari setiap surat al-Qur’an berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata:
“Pada suatu hari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam bersama-sama kami menjelaskan
untuk kami, ketika itu beliau menundukkan kepalanya seraya tersenyum, maka kami
pun bertanya: “gerangan apakah yang membuat engkau menjadi tersenyum wahai
Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam ?”, beliau menjawab: “Baru saja turun
kepadaku sebuah surat(dari al-Qur’an)”, lalu beliau membaca: “Bismillahir
rahmanir rahim – Inna a’thaina kalkautsar……….”[31]
Hal ini berbeda dwengan pendapat Imam
Malik yang menyatakan bahwa basmalah itu tidak termasuk ayat di dalam
surat al-Fatihah ataupun dalam
surat-surat selainnya. Imam al-Qurthuby mengomentari pendapat ini dengan
berkata: “Pendapat Imam Malik inilah yang benar, sebab al-Qur’an tidak
ditetapkan dengan hadits-hadits Ahad akan tetapi penetapan al-Qur’an itu
dengan jalan Mutawatir yang sudah tidak ada lagi perselisihan di
dalamnya.” [32]
Ibnu Taimiyah berkata:
“Pendapat pertengahan adalah pendapat yang mengatakan bahwa basmalah termasuk
ayat dari al-Qur’an, disebabkab para Shahabat menulisnya di dalam mushhaf da
ia tidak termasuk dari setiap surat. Sesungguhnya penulisan basmalah
yang ditulis oleh para Shahabat adalah al-Qur’an itu menunjukkan bahwa ia
termasuk ayat, dan penisbahan basmalah dari setiap surat sesudahnya itu
menunjukkan bahwa ia itu tidak termasuk dari setiap surat pula. Dalam hadits
yang shahih Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: “Aku membagi shalat menjadi 3 bagian, sepertiganya untuk-Ku,
sepertiganya lagi untuk hamba-Ku dan sebagian yang lain untuk-Ku dan hamba-Ku.
Dan bagi hamba-Ku apa yang ia pinta”. Maka apabila seorang hamba berkata: “Alhamdulillahi
rabbil ‘alamin”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Hamba-Ku
telah memujiKu”. Lalu ia berkata: “Arrahmanir rahim”, maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Hamba-Ku telah memujiKu”, jika ia berkata: “Iyyakana’budu
waiyyakanasta’in”, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Ayat ini
setengahnya untukKu dan setengah yang lain untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku
apa yang ia pinta”. Lalu jika ia membaca: “Ihdinash shirathal mustaqim –
Shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdlubi ‘alaihim waladl dlallin”,
maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Mereka itu adalah hamba-Ku, dan bagi
hamba-Ku apa yang ia pinta.”
Ini adalah hadits yang
shahih yang menunjukkan bahwa basmalah bukan ayat dari surat al-Fatihah
dan tidak ada hadits shahih yang menentangnya, maka point yang paling
penting adalah bahwa hadits tersebut hanya menunjukkan jika basmalah itu
dibaca pada awal surat al-Fatihah dan tidak menunjukkan bahwa ia
termasuk dari surat al-Fatihah, sehingga dari sini para ahli Qura’ atau
orang yang ahli membaca al-Qur’an ada yang membaca basmalah diawal surat
dan ada pula yang tidak membacanya. Meskipun keduanya diperbolehkan namun bagi
mereka yang membacanya lebih baik, begitu juga bagi mereka yang mengulang-ulang
bacaannya setiap awal surat adalah lebih baik daripada mereka yang
meninggalkannya. Hal itu karena ia telah membaca apa-apa yang telah ditulis
oleh para Shahabat di dalam mushhaf. Dan apakah mungkin para Shahabat
menulis di dalam mushhaf sesuatu
yang tidak disyariatkan untuk membacanya, padahal mereka telah memisahkan
antara al-Qur’an dengan yang selainnya, sampai-sampai mereka tidak menulis kata
Amiin di dalam al-Qur’an, tidak juga nama-nama surat, seperlima atau
sepersepuluh dari al-Qur’an dan lain sebagainya, padahal orang yang shalat
disunnahkan untuk membaca Amiin setelah membaca seluruh ayat dari surat al-Fatihah.
[33]
Dan jika dalil-dalil
syar’i dikumpulkan maka akan menjadi lebih jelas hal itu menunjukkan bahwa basmalah
adalah termasuk ayat dari al-Qur’an dan tidak termasuk ayat dari setiap
surat yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Mengeraskan Basmalah
Dalam
masalah ini banyak sekali perselisihan yang terjadi di kalangan para Ulama’,
ada sebagian diantara mereka yang mengeraskan dan adapula yang tidak
mengeraskannya.
Imam say-Syafi’i dan para
shahabatnya berpendapat: “Disunnahkan untuk mengeraskan basmalah pada
shalat-shalat jahriyah, baik di dalam surat al-Fatihah ataupun
surat-surat yang lainnya”. Pendapat ini berdiri di atas
beberapa pendapat:
- Hadits Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir
Rahimahullah ia berkata: “Aku pernah shalat di belakang Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, maka ia membaca Bismillahir rahmanir rahim lalu ia membaca ummul
Kitab(al-Fatihah) sampai waladl dlallin ia membaca Amiin, maka
orang-orang yang ada di belakangnya ikut membaca Amiin. Dan setiap
sujud ia membaca Allahu akbar. Dan setelah salam ia berkata: “Demi
jiwaku yang berada ditangan-Nya, aku adalah orang yang paling mirip
shalatnya dengan Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam dari kalian.” [34] Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i
dan Ibnu Huzaimah, dan Ibnu Huzaimah berkata di dalam mushannifnya:
“mengeraskan bacaan Bismillahir rahmanir rahim itu di dlam shalat
telah shahih dan telah
diriwayatkan dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sanad yang Tsabat(tetap)
dan Muttashil(bersambung) serta tidak ada lagi keraguan
diantara ahli ilmu.
- Hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dar
Quthny dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Sallahu
'Alaihi wa Sallam, bahwa apabila beliau membaca sedang beliau mengimami
manusia, maka beliau membuka dengan Bismillahir rahmanir rahim, maka
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Ia(bacaan basmalah)
adalah ayat dari Kitabullah, jika kalian mau maka bacalah Fatihatul
Kitab, karena ia adalah ayat yang tujuh.” [35] dalam riwayat yang lain: “Sesungguhnya
Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam apabila mengimami manusia beliau membaca Bismillahir
rahmanir rahim.” Imam ad-Dar Quthny berkata: “seluruh rijal pada
hadits ini tsiqah(dipercaya).” Al-Khathib berkata: “Segolongan
Ulama’ meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu: “Sesungguhnya
Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan Bismillahir rahmanir
rahim dan memerintahkannya”, lalu ia menyebutkan hadits ini.” [36]
- Hadits dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu ia berkata: “Apa-apa yang Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa
Sallam keraskan maka kami keraskan bagi kalian dan apa-apa yang beliau
sembunyikan(pelankan) maka kami sembunyikan dari kalian.” Dalam riwayat
lain: “Apa-apa yang beliau perdengarkan bagi kami maka kami perdengarkan
bagi kalian dan apa-apa yang beliau sembunyikan dari kami maka kami sembunyikan
dari kalian.” [37] maknanya adalah mengeraskan apa-apa
yang beliau keraskan dan memelankan apa-apa yang beliau pelankan.
al-Khatib Abu Bakar al-Hafidz al-Baghdady berkata: “Mengeraskan dengan
penyebutan adalah madzhab Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, telah dihafal
darinya dan telah masyhur(terkenal) darinya pula, serta telah
meriwayatkan darinya lebih satu orang dari para
shahabat-shahabatnya.” [38] al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib berkata di
depan para shahabatnya: “Yyang mengeraskan pen-jahr-an terhadap
bacaan basmalah adalah
Shahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, ‘Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab,
Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, serta yang lainnya Radhiyallahu 'anhum. Sedang
dari kalangan Tabi’in adalah Sa’id bin Musayyab, ‘Atha’, Mujahid, Ibnu
Sirrin, Ikrimah, ‘Ali ibin Husain Rahimahumullah dan lain sebagainya.
Sedangkan dari kalanga Ulama’ setelah Tabi’in adalah al-Hasan bin Zaid,
Abdullah bin Hasan, al-Laits bin Sa’ad, Ishaq bin Rahawaih Rahimahumullah
dan lain-lain. [39]
Adapun Imam Ahmad dan Malik Rahimahumallah,
mereka berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca jahr (dengan jelas) akan
tetapi ia dibaca dengan pelan. Imam Malik Rahimahullah menambahkan bahwa basmalah
kalaulah ingin dibaca dengan sirr (dengan pelan) hanya ada pada
shalat-shalat nawafil (sunnah) dan tidak boleh dibaca pada shalat maktubah
(wajib) atau pada shalat yang lainnya. [40]
Imam at-Turmudzy Rahimahullah
berkata: “Dan ini(membaca basmalah dengan pelan) adalah yang telah
dicontohkan dan diamalkan oleh kebanyakan ahlul ilmi (Ulama’), baik dari
kalangan Shahabat maupun orang-orang setelahnya dari kalangan Tabi’in. diantara
para Shahabat adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali Radhiyallahu 'anhum,
demikian juga yang dipegang oleh al-Hakim, Hammad, al-Auzaiy, ats-Tsaury, Ibnul
Mubarrak Rahimahumullah dan lain-lain.
Ibnu Qudamah di dalam kitabnya
“al-Mughny” mengatakan bahwa hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang mereka
jadikan dalil bahwa basmalah itu dibaca dengan jahr tidaklah di
situ bukti bahwa Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan dan tidaklah
menutup kemungkinan bahwa suara Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam didengar ketika
bacaannyua pelan. Hal ini sebagaimana bisa didengarnya bacaan istiftah (bacaan
pembukaan sebelum bacaan surat al-Fatihah), dan isti’adzah(bacaan
permohonan perlindungan dari godaan syaithan) dari Nabi Sallahu 'Alaihi wa
Sallam sesekali waktu beliau mengeraskan bacaannya pada shalat dhuhur (HR.
al-Bukhary dan Muslim). Dan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha tidaklah di
situ menunjukkan bahwa bacaan basmalah itu dibaca keras, sebab semua
hadits tentang bacaan basmalah adalah dlaif(lemah). Dan bahwa
seluruh perawi serta sanadnya yang tersembunyi(pelan/samar) adalah sesuatu yang
shahih dan tidak ada khilaf (perbedaan pendapat). Maka hal ini
menunjukkan lemahnya periwayatan tentang bacaan basmalah yang dilakukan
dengan suara jahr. Dan telah sampai kepada kami ad-Dar Quthny berkata:
“Tidak ada hadits yang shahih dalam hal mengeraskan bacaan basmalah.” [41]
Ibnu Taimiyah berkata: “Para ahli
hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits yang sharih(jelas) dalam
masalah mengeraskan bacaan basmalah, dan para ahlu sunan yang terkenal,
seperti Abu Daud, at-Tarmidzy, dan an-Nasa’i tidak meriwayatkan hal ini pula,
akan tetapi(hadits yang memperbolehkan membaca basmalah dengan keras)
adalah hadits yang maudlu’(palsu) yang diriwayatkan oleh ats-Tsa’laby
dan al-Mawardy.” [42]
Dalam tempat lain beliau menambahkan
bahwa pakar hadits telah sepakat bahwa tidak ada hadits yang shahih dalam
pembolehan hal ini(mengeraskan bacaan basmalah), lebih-lebih hadits yang
mutawatir tentang hal ini juga. Dan hal ini menjadi pelarangan yang dilakukan
oleh Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana hal ini menjadi penghalang
bahwa beliau mengeraskan do’a istiftah dan ta’awudz. [43]
c. Ketika ruku’
1. arah pandangan
mata ketika ruku’
Secara umum pandangan mata ketika shalat adalah kearah sujud, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari al-A’la dia berkata: “Saya mendengar Makhul bercerita dari Abi Umamah dan Watsilah Radhiyallahu 'Anhuma :
" كان النبيَ
صلََََََى الله عليه وسلَََم قام إلى الصّلاة لم يلتفت يمينا و شمالاورمىببصره فى
موضع سجوده".
Artinya: “Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila berdiri ketika sholat, tidak menoleh
kekanan atau kekiri akan tetapi mengarahkan pandangannya ke arah sujud.”
Dan Ibnu Sirin Rahimahullah berkata:
”Dahulu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengangkat pandangannya ketika shalat(melihat ke atas), akan tetapi
ketika turun ayat: 1-2
" قد أفلح
المؤمؤمنون اللذين هم في صلاتهم خاشعون ".
Artrinya: “Beruntunglah orangorang yang beriman, yaitu orang-orang
yang khusyu’ di dalam shalatnya.” Setelah itu
pandangan mata beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah melebihi tempat
sujud” .[44]
Adapun dalil yang menunjukkan secara
khusus tentang pandangan mata ketika ruku’, tidak kami temukan. Akan tetapi
kita bila menarik kesimpulan dari hadits-hadits umum dibawah ini:
1.
Hadits dari Aisyah Radhiyallahu
'Anha
" كان النبيَ
صلََََََى الله عليه وسلَََم اذا ركع لم يؤفع رأسه ولم يصوَبه ولكن بين ذاك ". ( رواه مسلم )
Artinya: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila ruku’
tidak pernah mengangkat kepalanya, dan tidak pula menurunkan kepalanya, akan
tetapi meluruskan kepalanya (antara mengangkat dan menurunkan). [45]
Juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Rahimahullah yang berbunyi
" نهى النبيَ
صلََََََى الله عليه وسلَََم عن التذبيح في الصلاة ".( رواه أبوداود )
Artinya: “Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang ”tadzbih” di dalam sholat.” [46] Tadzbih adalah merendahkan
kepala sampai di bawah pundak.
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “Apabila seseorang ruku’, hendaknya
memegang kedua lututnya dan merenggangkan jari-jarinya dan menahan dengan siku
dan jari, satu meluruskan punggungnya dan tidak boleh mengangkat kepala atau
merendahkannya.” [47]
Diantara tata cara ruku’ yang benar
adalah meluruskan punggung dan lehernya, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam jika beliau ruku’ selalu meluruskan punggungnya dan tidak mengangkat
kepala atau menurunkannya sehingga apabila ada air yang diletakkan di atasnya
maka air itu tenang dan tidak akan
tumpah. Demikian juga seseorang apabila ruku’ hendaklah meluruskan punggungnya
dari kepala hingga pantatnya. Dan sunnah yang demikian telah disepakati oleh
para Ulama’.
Adapun ruku' sempurna adalah membungkukkan badan hingga lurus antara
punggung dan lehernya hingga tampak seperti kertas yang terbentang dan lurus
dengan meluruskan betisnya dan tidak menekan lututnya. [48]
2. Posisi
tangan sehabis i’tidal.
Secara qoth’i, tidak ada satu pun dalil yang
menerangkan tentang posisi tangan ketika I’tidal di dalam shalat. Namun para
ulama’ madzhab bersepakat, bahwa ketika I’tidal seluruh posisi kembali ketempat
semula, sebagaimana posisinya sebelum ruku’.[49]
Sebagaimana pula para ulama’ juga bersepakat,
bahwa posisi tangan ketika berdiri dalam shalat adalah tangan kanan berada di
atas tangan kiri di atas dada.[50]
1. As-Syafi’iyah berpendapat:Sesungguhnya
bangkit dari ruku’(i’tidal) itu adalah kembali kepada keadaan sebagaimana
sebelum ia ruku’.
2.
Al-Malikiyah
berpendapat:I’tidal itu adalah kembali seperti semula(sebelum ruku’).
3.
Al-Hanabilah
berpendapat:I’tidal itu adalah berdiri dengan sempurna, dan setiap anggota
badan ketempatnya.
Dengan demikian dapat difahami
bahwa posisi tangan ketika I’tidal adalah di atas dada, sebagaimana posisinya
sebelum ruku’, yaitu di atas dada. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam :
عن سهل بن سعد قال : كان النَََََاس
يؤمرون ان يضع الرجل يده اليمنى على الذراعه اليسرى فى الصلاة ( رواه البخارى )
Artinya: Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata:Sesungguhnya manusia
diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya didalam
shalat. (HR.Al-Bukhary)[51]
Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata: Di dalam shalat yakni diwaktu
berdiri di dalam shalat.[52]
Wail bin Hujr berkata:
رأيت
النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم ا1ذا كان قائمافى الصَلاة قبض يمينه على
شماله( رواه النسائى )
Artinya: "Saya telah melihat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila berdiri di dalam shalat, beliau
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
(HR. An-Nasai).[53]
Dari sini jelaslah bahwa ketika berdiri di dalam shalat, keadaan
tangan adalah di atas dada (bersedekap), baik berdiri sebelum ruku’ maupun
berdiri sesudahnya disebabkan keumuman hadits tersebut.
Abu Hamid berkata:
و1ذارفع
رأسه اسفوى قائماحتَى يعود كلَ فقارالى مكانه( متَفق عليه )
Artinya: "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila bangkit
dari ruku’, maka ia berdiri dengan sempurna, sehingga setiap sisi kembali
kembali kepada tempatnya masing-masing. (mutafaqun
‘alaihi).[54]
Ibnu Abdil Baar berkata[55]:Tidak ada khilaf (perselisihan)
di dalamnya (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, ketika berdiri di
dalam shalat) dan inilan pendapat Jumhur dari kalangan Shahabat, Tabi’in, dan
juga yang disebutkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’.[56]
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata: Hadits Sahl menunjukkan bahwa
tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri, baik sebelum maupun sesudahnya, sebagaimana:
·
Tangan diletakkan di atas
lantai (di atas tanah) saat sujud.
·
Tangan
diletakkan di atas lutut saat ruku’.
·
Tangan di letakkan di atas paha
saat duduk.
·
dan
ketika berdiri tangan diletakkan di atas dada (bersedekap).
d. Ketika sujud
1. Cara turun sujud
Para Ulama berselisih pandapat
dalam masalah ini dan masing-masing pendapat dikuatkan dengan dalil dan alasan
masing-masing.
1. Mendahulukan dua lutut dari dua tangan.
Pendapat ini mendasarkannya pada hadits
yang datang dari sahabat Wail bin Hujr, yaitu :
حَدَّثَنَا
سَلَمَةُ بْنُ شَبِيبٍ وَأَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ وَالْحَسَنُ
بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ
قَالُوا حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ
كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ
يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ زَادَ
الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فِي حَدِيثِهِ قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ وَلَمْ يَرْوِ
شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ أَبُو عِيسَى
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ
شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ
يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ
قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَرَوَى هَمَّامٌ عَنْ عَاصِمٍ هَذَا مُرْسَلًا وَلَمْ
يَذْكُرْ فِيهِ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ (الترمذي 248(
Artinya: “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam apabila sujud beliau letakkan
dua lututnya sebelum dua tangannya dan bila bangkit beliau angkat dua tangannya
sebelum dua lututnya”.[57]
Hadits tersebut menurut Imam At Turmudzi adalah Hasan Ghorib. Karena jalurnya dari Syuraik dari ayahnya.
Syaikh Nasiruddin Al Albani
mendloifkannya Adapun yang menshohihkannya adalah Ibnu Huzaimah, ibnu Hibban,Al
Hakim dan Adz Dzahabi.[58]
Hadits tersebut dikuatkan dengan hadits
dari Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad bin Fudail dari Abdulloh bin Sa’id dari kakeknya
dari Abu Hurairoh bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا سَجَداحدكم فليبدأَ برُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْه ولايبرك
كبروك الفحل ( رواه البيهقى )
Artinya: “Apabila salah seorang diantaramu hendak sujud maka
mulailah dengan meletakan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah
ia turun seperti unta yang berderum” [59]
Al Qothon mendoifkan hadits ini tetapi Imam baihaqi
berkata : kedoifan hadits ini tidak berdasar.[60]
Juga hadits dari Anas bin Malik RA :
انه صلّى الله عليه وسلم انحط با التكبير فسقطت ركباه يدا ه
Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila
hendak turun ke sujud dengan bertakbir dan kedua lututnya mendahului kedua
tangannya.” [61]
Al Hakim berkata:Shohih atas syarat keduanya, yaitu Darul Quthny dan
Baihaqy, dan tidak tahu Illat didalamnya,dan ada yang mengatakan bahwa hadits
Wa’il sebagai penguat dari hadits ini.
كنا نضع اليد ين قبل الركبتين قامرنا ان نضع الركبتين قبل
اليد ين
Artinya :Kami meletakan kedua tangan ketika hendak bersujud lalu
kami diprintahkan untuk meletakan lutut sebelum kedua tangan.
Ibnu Huzaimah Mmensohihkannya dan menganggap hadits ini telah
menaskh hadits Abi Hurairoh yang mendahulukan kedua tangan, tetapi ada yang
mendoifkannya karena ada rowi bernama Abu Zur’ah. Ibrohim bin Isma’il
menganggapnya sebagai orang yang matruk.[62]
Disamping hadits-hdits diatas yang saling menguatkan satu dengan
yang lainnya juga Ibnu Qoyyim telah menjabarkannya dengan panjang lebar dengan
menyebutkan sepuluh hadits sebagai tarjih dan penguat yang sebagiannya telah
disebutkan Asy Syaukani dalam Nailul Autor.
Imam Asy Syaukani merojihkan hadits yang datang dari Abi Hurairoh
yang mendahulukan tangan dari hadits Wa’il yang mendahulukan lutut dari pada
tangan dan tarjih ini hanya dari dua
hadist tersebut saja tanpa mentarjih dengan hadits yang disebutkan Ibnu Qoyyim
seperti hadits yang datang dari jalur Hammam dengan sanad yang Mursal atau
hadits yang diriwayatkan Abi Dawud dari jalur Muhammmada bin Hijadah. Lebih
lanjut perselisihan dalam masalah tata cara turunnya unta dan hewan yang lain
yang dipandang dari sisi bahasa dan makna hadits.
Yang berpegang pada pedapat ini diantaranya adalah Jumhur ulama,
Umar bin Khotob dan anaknya, Abdulloh bin Mas’ud Ibnu Mundzir, Ibrohim An
nakho’I, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad bin Hanbal Ishaq dan
ahlur Royi dari ahlul ‘Iroq.[63]
Imam Asy Syafi’I berkata
dalam kitabnya Al ‘Umm : Saya lebih menyukai mendahulukan lutut dari pada
tangan.
Imam An Nawawi dalam Al majmu’ berkata: Yang sunnah adalah meletakan
kedua lutut dari kedua tangan dan bila berdiri mengangkat kedua tangan dahulu
karena mendekati posisi yang benar Demikian yang dikatakan Imamg Bukhori dan
huffadz salaf terdahulu[64]. maksudnya : karena lutut
lebih dekat dengan tanah dan untuk menyelisihi turunnya unta kemudian kening
dan hidung.[65]
At Turmudzi berkata ; Al Khotobi berkata : Ini adalah pendapat
kebanyakan para Ulama.
Imam Ar Rofi’I berkata : Yang sunnah adalah meletakan kedua lutut
terlebih dahulu kemudian tangan kemudian hidung dan kening.
Sedang Al Ghozali berkata :Sujud yang paling sempurna adalah
mengawalkan kedua lutut dahulu dengan tidak mengangkat tangan lalu meletakan
tangan lalu kening…[66] .
Demikian juga penadapat Ibnu qoyyim dalam Zaadul ma’ad. Sedang
umumnya ulama ( Irak ) beralasan dengan beberapa alasan diantaranya :
1.
Sesungguhnya unta bila menderum
ia meletakan tangannya terlebih dahulu sedang kakinya tetap berdiri sedang bila
bangkitakan mengangkat kakinya terrlebih dahulu dan tata cara sujud seperti ini
dilarang oleh Rasulullloh SAW.
2.
Rasululloh SAW meletakkan kedua
lutut terlebih dahulu lalu kening dan hidung secara berurutan karena lebih
dekat dengan lantai untuk menyelisihi unta dan hewan lainnya.
3.
Jika yang diturunkan tangan
terlebih dahulu mestinya lafadznya berbunyi
فاليبرك
كما يبروك البعير
Sedangkan unta meletakan tangan dahulu ke bumi pihjakannya.[67]
Al Qodi Abi Toyyib berkata : Pendapat ini adalah pendapat jumhur dan
umumnya para ahli fikih.[68]
Sedangkan ulama madzahib yang sependapat adalah Abu Hanifah, Asy
Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hnabal.begitu juga dari golongan Hanifiyah,
Syafi’iyyah dan ahli Kuffah.[69]
Imam At Tohawi berkata : Hendaknya mengakhirkan untuk meletakkan
tangan dari lutut sebagaimana mengangkat tangan dahulu ketika berdiri.[70]
Termasuk yang memegangi pendapat ini adalah Syaikh Abdulloh Bin
Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Utsaimin.
Syaikh Utsaimin berkata : Sebagian Ikhwan telah mengarang sebuah buku berupa risaalah
yang berjudul : “ Fathul Ma’bud Fii Wadh’I Rukbataini qobla Yadaini Fii
Sujud”.Oleh karena itu yang paling sunnah adalah mendahulukan kedua lutut.
- Mendahulukan
kedua tangan dari kedua lutut
Adapun yang berpendapat mendahulukan
tangan dari lutut mengemukakan pendapat. mereka
beralasan dengan hadits dari Abu Hurairoh, yaitu :
أَخْبَرَنَا
الْحُسَيْنُ بْنُ عِيسَى الْقُوْمَسِيُّ الْبَسْطَامِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ
وَهُوَ ابْنُ هَارُونَ قَالَ أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا
نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ( النساَئ 1077
Artinya :Rasululloh SAW bersabda : Apabila seseorang diantara
kamu bersujud maka janganlah bersujud seperti unta hendaklah ia letakkan
tangannya sebelum lutrutnya.[71]
Imam At Turmudzi berkata : Hadits ini ghorib karena jalurnya hanya
dari Abi Zanad.
Akan tetapi disohihkan oleh Syaikh
Nasiruddin Al Al Bani.
Hadits ini di kuatkan dengan hadits mauquf dari Ibnu Umar beliau
berkata :
كان
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعَ َ يَدَيْه
قَبْلِ رُكْبَتَيْه
Artinya: Bahwa nabi SAW apabila hendak sujud meletakkan kedua
tangan terlebih dahulu sebelum lututnya[72]
Al Hakim
berkata : Hadits tersebut sohih atas syarat Imam Muslimdan disepakati oleh Ibnu
Huzaimah dan Ad Dzahabi.
Imam Al Auza’I berkata : Inilah yang lebih utama meletakan tangan
dari pada lutut kertika hendak sujud.
Beliau menambahkan : Saya melihat
orang-orang mendahulukan tangan dari pada lutut mereka.
Imam Asyaukani Berkata : Hadits yang
menerangkan hal ini adalah berupa qoul dan fi’il dan tidak mungkin qoul
rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyelisihi amalan beliau, walaupun
hadits dari Abu Hurairoh ini mauquf akan tetapi ada penguat dari hadits yang
datang dari Ibnu umar tersebut. Hadits dari Abu Hurairoh ini lebih kokoh dari
hadits Wa’il bin Hujr[73]
Pengarang tuhfatul Ahwadzi berkata :
Hadits yang mendahulukan lutut terlebih itu lemah karena ada seeorang yang
bernama Syuraik ia banyak salah dan hafalannya kacau.
At Toifah berkata : Rasululloh
mendahulukan tangan dari luutut ketika hendak sujud.
Nafi’ berkata: Ibnu Umar meletakan kedua
tangan dari pada lutut beliau.
Syaikh Nasiruddin dalam sifat solat nabi :
Yang paliing kuat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairohyang
mendahulukan tangan dari pada lutut,untuk menyelisihi gerakan turunnya
untasebagaimana dhohirnya hadits.
Beliau juga membantah pendapat Ibnu Qoyyim
yang menyebutkan bahwa matan hadits dari Abu Hurairoh ini terbalik.beliau
mengatakan : Syuraik adalah orang yang jelek hafalannya dan pendapat Ibnu
Qoyyim jelas-jelas salah. Bahkan saya telah menyebutkan kelemahan - kelemahan
pendapat Ibnu Qoyyim dan kekurangan kitab Zaadul Ma’ad dalam satu buku saya
yang berjudul At ta’liqot Al Jiyad ‘ala Zaadil Ma’ad.
Dalam kitab beliau yang lain Tamamul
Minnah, sebagai kritikan buku Fikih Sunnah karangan Syaikh Sayyid Sabiq beliau
menambahkan : Bahwa prilaku unta yang hendak menderum dengan mendahulukan lutut
terlebih dahulu seperti dhohirnya hadits. Demikian perndapat para ahli bahasa
Al Fairuz Zabadi dan Ibnu Mandzur ddalam Lisanul ‘Arob. Perkataan Ibnu Qoyyim
yang mengatakan bahwa matan hadits dari Abu Hurairoh itu terbalik adalah
sangkaannya ( Wahm ) dia belaka dan ini
adalah pendapat pribadi Ibnu Qoyyim saja. Dan tashih dari hadits Wa’il bin Hujr
yang mendahulukan lutut sama sekalii tidak berdasarbaik dari sisi hadits maupun
fikih, sedangkan hadits yang mendahulukan tangan terlebih dahulu adalah
pendapat ahlu hadits yang mendasarkan pada qoul dan fi’il nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam .[74]
Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik,
Ibnu Hazm dan At Tsauri yang menyelisihi pendapat jumhur.
Abdulloh bin Abi Dawud bekata : ini adalah
pendapat ahlul hadits.[75]
Pendapat Yang lebih utama
Imam Ibnu Qoyyim mengafdolkan meletakan lutut dahulu dari
pada tanagn demuikian juga An Nawawi dalam Al Majmu’, dikarenakan hadits yang
lebih kuat dengan meletakan lutut terlebih dahulu.
Dan
ini lebih mudah untuk melaksanakannyajika tidak berarti meninggalkan kemudahan
artinya meleetakan lutut terlebih dahulu karena lutut lebih dengan lantai,
kemudian meletakan tangan kemudian kening dan hidung sebagai bagian dari
kepala.Adapun ketika berdiri maka yang diangkata adalah yang paling jauh dari
tanah kepala lalu tangan dan baru kemudian lutut.[76]
Hal ini disebabkan juga karena hadits yang
datang dari Abu Hurairoh adalah Muthorib
dan goncang dan juga karena adanya dua
periwayatan dari Abu Hurairoh yang saling bertentangan satu mendahulukan tangan
dan satu yang lain mendahulukan lutut.[77]
Dan jumhur bersepakat bahwa pendapat yang
mendahulukan lutut terlebih dahulu berdasar pada hadits dari Wail bin hujr itu
lebih kuat dan kokoh dan menyimpulkan adanya masyruiyyah meletakan lutut
terlebih dahulu dari pada tangan dan adanya pelarangan menderum seperti hewan.
Diantaranya juga adalah pendapat Hanafiyah dan Syafiiyah yang memandang bahwa
yang lebih afdol adalah meletakan lutut dari pada tangan.
Adapun Imam Al Auza’I lebih mengafdolkan
tangaan dari pada lutut. Sedangkan Imam
Malik membolehkan keduanya[78]
Imam As Syaukani mentarjih antara 2
hadits yang datang dari Wail dan Abu
Hurairah dan menguatkan hadits yang mendahulukan tangan ketika hendak sujud.
Imam An Nawawi berkata : Tiak ada tarjih
diantara keduanyakarena sam sunnhnya.
Imam
Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Al Kubro brkata : Dua tata cara tersebut di
mufakati oleh para ulama bila berkehendak ia mendahulukan lutut dan bila ia
berkehendak ia dahulukan tangan dari pada lututsholat dengan dua tata cara
tersebut adalah sah, akan tetapi para ulama berselisih tentang yang lebih utama
dan afdol. Adapun hadits yang datang dari Abu Hurairoh yang menyatakan
mendahulukan tanagn dari pada lutut bertentangan dengan hadits beliau yang lain
yang menyebutkan mendahulukan lutut terlebih dahulu.dan yang pertama adalah
mansukh. والله اعلم[79]
Juga perkataan beliau : Adapun riwayat Abu
Hurairoh semoga saja diriwayatkan oleh Ahmad. Yang menunjukan salah satu sisi
guncangnya hadits, sedangkan Imam Ahmad RA dan pengikutnya mendahulukan lutut
sbelum tangan ketika hendak sujud.
Adapun yang sependapat dengan Syaikh
Nasiruddin, bahwa beliau melayangakan risalah kepada Syaikh Sayyid Sabiq atas
bantahan fikih sunnah sebanyak dua kali akan tetapi tidak ditanggapi oleh
beliau. Hal ini karena beliau yakin atas pengambilan dalil dan pendapat dari
para ulama salaf.juga karena banyaknya hadits-hadits doif yang menguatkan dalam
masalah ini sehingga karena banyaknya hadits tersebut hingga masyhur. Demikian
juga pendapat Syaikh Utsaimin dalam kumpulan fatwanya.
Kemudian perkataan Imam Malik yang membolehkan
kedua tata cara tersebut.dan apa yang disampaikan Syaikhul Islam dalam fatwanya
kiranya cukup untuk mendjadi pijakan. Syaikh Abdul Qodir abdul Aziz dalam
mengomentari kitab fatawa beliau berkata : Sebagian besar isi Majmu Fatawa
beliau telah ditarjih.
Kesimpulan :
Bahwa sholat dengan dua tata cara tersebut
adalah sah dan boleh hanyasanya yang afdol adalah mendahulukan lutut dan tidak
ada tarjih sebagaimana perkataan Imam An Anawawi. Para Mufti Saudi yang
tergabung dalam lajnah daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdulloh bin Baaz
dengan anggota Syaikh Abdur Rozak Afifi dan
Abdulloh bin Ghodyan telah menyimpulkan sebagai berikut : Jumhur Ulama
berpendapat bahwa yang paling afdol adalah meletakan lutut terlebih dahulu
daripada tangan ketika hendak turun ke tempat sujud dan mengangkat tangan
terlebih dahulu ketika hendak bangkit berdiri. Hadits dari sahabat Wail bin
Hujr dikuatkan oleh hadits-hadits lain yang jumlahnya sangat banyakbaik yang
munqoti ataupun yang mencapai derajat mursalul hadits sampai pada rasululloh
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Yang berpendapat mendahulukan tanagn adalah :
Auzai , Malik dan Ibnu Hazm berdasar dari hadits Abu Hurairoh akan tetapi sanad
hadits ini diperselisihkan dan Jama’ah merojihkan hadits dari Wail bin Hujr.
Karena masalah ini adalah amsalah ijtihadiyah maka jalan yang terbaik adalah
keluasan dan takhyir antara dua cara tersebut, adapun kesalahan yang dilakukan
para pelaku yang hendak turun ke sujud adalah melakukan kedua-duanya secara
bersama-sama ataupun digabung, semisal menurunkan kedua tangan ketika hendak
sujud dan mengangkat lutut mendahului tanagn ketika hendak bangkit atau
sebaliknya. Kami tidak mendapatkan satu keteranganpun baik dari hadits ataupun
dari atsar sahabat yang membolehkan melakuakan hal tersebut, yaitu turun dengan
lutut dan berdiri dengan tangan dengan mendahulukan lutut kecuali yang
dilakukan para pengikut madzhab Syafi’iyyah sebagaimana diterangkan dalam Kitab
Fikib ala madzahib al Arba’ah. Akan tetapi karena tidak ada dalil satupun yang
menguatkan pendapat mereka maka yang kuat adalah melakuakn dari dua takhyir
yang ada keterangan dari hadits dan atsar sahabat dan selain itu adalah perkara
yang diadakan. Sekian.[80]
Demikian selesailah pembahan ini semoga
menjadi gamblang dan terang terlebih masalah sholat maka hendaknya kita
berhati-hati dan mengamalkan yang lebih mendekati kebenaran. والله اعلم
2. Cara sujud
yang benar.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan sujud
" عَن وَئِلِ بِنْ حجر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه
وسلم : إِذَاسَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ. وَإِذَا نَهَضَ وَفَعَ
يَدَيْهِ قَبْلَ رَكْبَتَيْهِ ". (رواه الخمسة إلا أحمد)
Artinya: “Dari Wail bin Hujr Radliyallahu 'Anhu berkata: “Aku
pernah melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila ia sujud ia
bertelekan, dua lututnya sebelum ke dua
tangannya, dan apabila ia bangkit dari sujud ia angkat ke dua tangannya
sebelum kedua lututnya.” [81]
" وعن أبي
هريرة رضي الله عنه قال. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إِذَا سَجَدَ
أَحَدُكُمْ فَلاَيَبْرُكُ فَلاَيَبْرُكُ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيْنُ وَالْيَضَعْ
يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ ". (رواه أحمد ابوداود و النسآء)
Artinya: “Dari Abi
Hurairah Radliyallahu 'Anhu berkata telah bersabda Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam apabila salah seorang diantara kamu sujud, maka jangan ia
turun seperti turunnya onta, tetapi hendaklah ia meletakan tangannya sebelum
kedua lututnya.” [82]
g
" وَعَنْ
أَبْي حُمَيْدِ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ إِذَا سَجَدَ
أَحْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتُهُ مِنَ الأَرْضِى وَ نَحَّى يَدَيْهِ عَنْ
جَنْبَيْهِ, وَوَ ضَعَ كَفَيْهِ حَذْ وَمِنْكِبَيْهِ ". (رواه أبوداود و
الترمدي و صحيحه)
Artinya: “Dan dari Abi
Humaid Radliyallahu 'Anhu, sesungguhnya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila sujud ia letakan hidung dan dahinya
pada tanah (bumi) dan ia jauhkan kedua tangannya dari pinggangnya serta
meletakan kedua telapak tangannya(di atas tanah/bumi) sejajar dengan kedua
pundaknya”. [83]
" وَعَنْ
عَبْدِ اللهِ بِنْ بُحَيْنَةَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم :
اِذَا سَجَدَ يُجَنِّحُ فِيْ سثجُوْدِهِ, حَتَّى يُرَى وَضْحُ إبْطَيْهِ ".
(متفق عليه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Buhainah Radliyallahu 'Anhu, ia
berkata: “bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila
sujud(seperti) bersayap dalam sujudnya itu sehingga nampak putihnya kedua
ketiaknya.” [84]
Penjelasan dari Hadits-hadits tersebut
Perkataan: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi
Wasallam apabila ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apa
bila bangkit beliau angkat kedua tangannya sebelum lututnya.”
Syarih berkata: “Hadits ini menunjukan diperintahkan karena
meletakan kedua lutut sebelum tangan serta mengangkatnya ketika bangkit sebelum
mengangkat lutut.” Adapun yang berpendapat seperti ini adalah jumhur Ulama’ dan
begitu juga pada umumnya para Ulama’ di kalangan ahli fiqh, hal ini seperti
diceritakan oleh Qadli Abu Thayyib.”
Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah beliau berkata:
“Hadits Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu itu matannya/isi hadits
terbalik(maqlub), pada sebagaian perawi-perawinya. Akan tetapi yang benar
adalah :
Pada kalimat
(lafadz hadits)
"وَالْيَضَعْ
رَكْبَتَيْهِ قضبْلَ يَدَيْهِ".
Artinya: “Hendaklah kedua lututnya sebelum kedua tangannya”
dan begitulah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah berkata:
“telah diceritakan kepada kami, Muhammad bin Fudhail dari Abdullah bin Sa’id,
dari datuknya, dari Abu Hurairah Radliyallahu 'Anhu dari Nabi Shallalahu
'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau pernah bersabda :
" إِذَاسَجَدَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَ أُ كُبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَ لاَ يَبْرُكُ كُبُرُوْكِ
الْفَحْلِِ ".
Artinya: “Apabila salah seorang diantara kamu sujud, maka
mulailah dengan (meletakan) kedua lututnya sebelum kedua tangannua dan
janganlah ia turun/ menderum seperti turun/menderumnya unta.” [85]
Hal-hal
yang berhubungan dengan sujud
Keadaan (Posisi) ketika melakukan sujud
" أحبر باأبو
عثمان الضبيّ أحبرنا أبو محمد الجرّاحي أحبرنا ابو الئباس المحبوبي. أحبرنا
بتدرار. أحبرنا أبو عامر العقدي أحبرنا فليح بن سليمان. حديثنى عباس بن سهل : عن
أبى حميد الساعديّ أن النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : كَانَ اِذَا سُجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَ جِبْهَتَهُ
عَلَى الأَرْضِي وَ تَحَّى يضدَيْهِ عَنْ
جَنْبِهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْ وَ مَنْكَبَيْه ". قِيْل,” هَذَا حديث حسن
صحيح"
Artinya: “Dikhabarkan kepada kami Abu Utsman Adlabiyyu dikabarkan
kepada Abu Muhammad Al Jarrahi, dikhabarkan kepada kami Abu Abbas Al-Mahbubiyu,
dikhabarkan kepada kami Abu ‘Isa dikhabarkan kepada kami Bundaru., dikhabarkan
kepada kami Abu Amir Al-aqdiy di kabarkan kepada kami Fulaih bin Sulaiman,
diceritakan kepada saya Abbas bin Shal
dari Abi Humaid as-Sa’idiy bahwasanya Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam
apabila beliau sujud beliau meletakan hidung dan dahinya pada tanah(bumi) dan
beliau menjauhkan kedua tangannya dari pinggangnya, serta meletakan kedua
telapak tangannya di atas tanah(bumi)
sejajar dengan kedua pundaknya.” (ini adalah hadits derajatnya hasan shohih)
[86]
Dalam sabda yang lain pula beliau juga pernah berkata: “janganlah
kamu membentangkan sikumu seperti binatang buas, hendaklah bertelekan pada
telapak tanganmu dan renggangkanlah lenganmu dan sisi-sisimu, jika engkau
lakukan hal itu, maka seluruh anggota tubuhmu telah sujud bersamamu.” [87]
Bagaimana posisi (keadaan) ketika turun dan bangun dalam sujud
Bahwasanya posisi(keadaan) ketika akan turun untuk
sujud hendaknya ia meletakan kedua lututnya kemudian kedua tangannya kemudian
baru wajahnya, hal itu kebaikan dari ketika akan bangun dari sujud hendaknya ia
mulai dengan mengangkat wajahnya kemudian kedua tangannya kemudian baru kedua
lututnya.Ini adalah pendapat yang disepakati oleh kedua Imam Madhzab antara
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah.
Adapun menurut pendapat yang yang disepakati oleh
Imam Madzhab antara Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas Rahimahullah bisa
anda lihat dalam footnote(garis bawah) ini. [88]
Bagaimana
(posisi) meletakan ke dua tangan dalam keadaan sujud dan apa-apa yang
berhubungan dengannya
Bahwasannya bagi yang shalat ketika dalam keadaan sujud hendaknya
ia meletakan kedua telapak tangannya di atas bumi(tanah). Sejajar dengan kedua
pundaknya, merapatkan(menggenggam) jari-jari tangannya dan wajahnya dihadapkan
ke arah kiblat. Ini adalah pendapat yang disepakati antara dua Imam Madzhab
antara Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, hal ini bisa anda lihat
dalam footnote(garis bawah) di bawah ini. [89]
3. larangan-larangan yang ada di dalamnya; sujud
seperti anjing.
Bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
meletakan terlebih dahulu dua tangannya
ke atas tanah, sebelum dua lututnya. [90]
" إِذَا
جَسَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبَّرِكُ كَمَا يُبَرِّكُ الْبَعِيْرُ وَالْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ
رَكْبَتَيْهِ ".
Artinya: “Apabila sujud salah seorang dari kalian, maka janganlah
berlutut seperti berlututnya unta, maka hendaklah ia meletakkan dua tangannya
sebelum dua lututnya.” [91]
Beliau mengingatkan, bahwa dua tangan itupun bersujud, sebagaimana
bersujudnya wajah, oleh karena itu apabila ada diantara kalian akan meletakan
wajahnya, maka hendaklah ia meletakan ke dua tangannya, dan apabila
mengangkatnya maka hendaklah ia mengangkat keduanya. [92]
Kami tidak boleh mengumpulkan pakaian dan rambut(maksudnya
menjadikan satu atau di ikat) agar tidak mengganggu waktu sujud. [93]
" إِذَاجَسَدَ
الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ وَجْهَهُ وَكَفَّاهُ ".
Artinya: “Ketika seorang sujud maka sujudlah bersamanya tujuh
anggota tubuhnya, yaitu wajahnya, dua telapak tangannya, dua lututnya dan dua
yang telapak kakinya.” [94]
4. Kening Tertutup Ketika Sujud
Dalam beberapa hadits telah diterangkan tentang masalah ini
diantaranya adalah sebagai berikut :
" وروي خباب بن الأوت dقال : شكونا إلى رسول الله b حتى الرمضإ جبا مناو أكفّنا فلم
يشكنا".
Artinya: “Kami mengadu kepada Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam akan
panasnya pasir pada kening-kening kami dan telapak-telapak tangan kami, maka
beliu tidak mengeluhkan kami.” [95]
" وروي جاببd قال : رأيت رسول الله b سجد بأعلى حيته على قصاص الشعر".
Artinya: “Aku melihat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam sujud dengan
bagian paling atas keningnya di atas tempat tumbuhnya rambut.” [96]
Maka menurut kami(an-Nawawi/Mazdhab Syafi’i) bahwa sujud di atas
kening adalah wajib tanpa khilaf. Adapun yang paling utama, adalah sujud di
atas keseluruhan kening atau sujud pada sebagiannya yang masih di sebut kening,
demikian adalah makruh, demikian
penuturan Imam Syafii’i Rahimahullah dalam kitab Al-Umm.
Adapun memberi alas pada tempat sujud, jika alas itu adalah bagian
dari pakaian(ikut bergerak saat sujud, berdiri, ruku dan lain-lain), maka itu
tidak sah shalatnya tanpa khilaf.
Adapun jika alas itu adalah tidak bergerak dengan bergerak seperti
kita (sujud, ruku’, berdiam dan lain-lain), walaupun itu masuk bagian dari yang kita pakai maka sah
shalatnya, karena itu terlepas, itu yang pertama kedua tidak sah, sebagaimana
juga jika ujung kain yang kita pakai najis. Begitu pula tidak boleh untuk alas,
walaupun tidak bergeraknya kita. Adapun sujud pada bagian yang terlepas dari
kita(tidak bersambung dengan kita) maka sah tanpa khilaf. [97]
Adapun memintal/mengikat rambut agar tidak berburai ketika sujud
maka itu tidak boleh, karena itu sebagaimana menghindarkan bagian pakaian kita
dari tempat sujud, Sabda Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
“Perumpamaan orang yang shalat dan mengikat rambutnya sebagaimana
orang orang yang shalat dan
menghindarkan kainya dari tempat sujud.” [98]
Adapun menhindarkan kain/baju
yang terjulur dari tempat sujud juga tidak boleh, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallalahu 'Alaihi Wasallam, dalam hadits Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhu
" أمرت أن أسجد على سبعة أعظم و أن لا
اكف ثوبا ولا شعرا ".
Artinya: “Aku diperintahkan unuk sujud pada tujuh tulang dan
untuk tidak mencegah baju dan rambut(yang terjukur kala sujud).” [99]
e. Ketika duduk.
1. Mengisyaratkan
Dengan Jari Ketika Duduk Diantara Dua Sujud
Dalam Zaadul Ma’ad disebutkan bahwa Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam mengangkat kepalanya dengan bertakbir, tanpa harus mengangkat
tangannya. Dari kondisi sujud beliau mengangkat kepalanya dulu sebelum beliau
mengangkat tangan, kemudian duduk iftirosy, (yaitu membentangkan kaki kirinya
lalu duduk di atasanya serta menegakkan kaki yang sebelah kanan).
An-Nasa’i Rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Umar
Radliyallahu 'Anhuma, ia berkata: “Dari sunnahnya shalat adalah menegakkan kaki
kanan(telapak), lalu menghadapkan ke arah kiblat beserta jari-jarinya dan duduk
di atas kaki sebelah kiri. Dan tidak didapatkan dari Nabi Shallalahu 'Alaihi
Wasallam model duduk dalam hal ini selain hal yang demikian.
Dan beliau meletakkan kedua tangannya diatas paha, dan
menempatkan sikunya di atas paha(pula), ujung-ujung jari tangan sejajar dengan
lutut, lalu menggenggam kedua jari, lalu melingkarkan berbentuk
lingkaran(antara ibu jari dan jari tengah, perut), kemudian mengangkat jarinya,
menggerak-gerakkan dan berdoa, seperti inilah yang dikatakan oleh Wa’il bin
Hajar.1)
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdillah Ibnu Zubair bahwa
Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam mengisyaratkan dengan jari apabila berdo’a
sambil menggerak-gerakkannya. 2)
Maka ini adalah penambahan yang perlu dikaji lagi tentag
penshahihan/pembenaramnya. Muslim di dalam hadits yang panjang menyebutkan di
dalam shahihnya bahwa penambahan itu tidak ada, akan tetapi, dia berkata bahwa
Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam apabila duduk di dalam shalat menjdikan
kaki kirinya diantara betis dan pahanya, lalu membentangkan kaki kanannya, dan
meletakkan tangan kirinya diatas paha sebelah kiri, dan tangan kanan di atas
paha sebelah kanan serta mengisyaratkan dengan jarinya. 3)
Dan juga pada hadits Abu Dawud tidak menunjukkan bahwa
hal itu dilakukan di dalam sholat. Dan kalaulah hal itu dilakukan di dalam shalat, sifatnya menunjukkan manfi(peniadaan)
sedangkan hadits Wail bin Hajar itu bersifat penetapan. Dengan begitu ia harus
didahulukan. 4)
Dalam hal tempat dibolehkannya mengangkat jari para ulama
berbeda pendapat, yaitu:
1.
Menetapkan hal(mengangkat jari tangan) dan tidak
membatasi tempatnya. Pendapat ini dipegang oleh Zaidah Ibnu Qudamah, Basyar
Ibnul Mufadlal, Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan bin al-Uyainah. Meskipun konteks
riwayat mereka menunukkan bahwa hal itu terjadi saat tasyahud.
2.
Bahwa mengangkat jari tangan itu pada saat tasyahud.
Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Uyainah dalam riwayat Nasa’i (1/ 173). Syu’bah
Ibnu Huzaimah di dalam shahihnya (697), dan Ahmad (4/ 319). at-Thabrani di
dalam Mu’jam al kabir (22/ 34/ 80), (3) Berbeda dengan Abdurrozaq, yang menyelisihi mereka semua berdasarkan riwayat
dari ats tsauri. Ia berkata didalam “Al-mushonif” (2/ 68/ 252), dalam riwayat
Ahmad (4/ 317), Thobrani di dalam mu’jam al kabir” (22/ 34/ 81): dari
Ats-Tsauri dari Ashim Ibnu kilaib dari bapaknya, berkata: “Aku melihat Nabi
Shallalahu 'Alaihi Wasallam didalam sholat meletakkan kedua tangannya setara
kedua telinganya, kemudian duduk dan membentangkan kaki kirinya dan meletakkan
tangan kirinya di atas paha sebelah kiri, dan meletakkan tangan kanan di atas
paha kanan, lalu mengisyaratkan(mengangkat) jari telunjuknya, lalu sujud dan
telinganya sejajar dengan telinga“.
Syaikh al-Albany berkata: “konteks in dari pengarang sedangkan
penambahannya dari Ahmad.”
Maka penyebutannya sujud
yang kedua setelah mengangkat jari telunjuk adalah kesalahan yang jelas, karena
telah menyelisih, semua periwayatan-periwayatan yang lalu dari Ulama tsiqah,
mereka semua tidak menyebutkan sujud setelah mengangkat jari, namun sebagian
mereka menyebutan hal itu sebelum mengangkat jari, dan inilah yang betul dan
mereka tidak menyebutkan sujud yang kedua.1)
Kesimpulan
:
Semua hadits yang berbicara tentang mengangkat jari
telunjuk bersifat umum, yaitu pada saat tasyahud
Banyaknya
perselidihan yang terjadi diantara para ulama adalah tentang hanya sekedar
mengangkat jari saja atau harus menggoyangkannya juga.
Bahwa Syaikh
Al Bani menyebutkan bahwa para ulama’ dalam periwayatannya tidak menyebutkan
adanya sujud yang kedua setelah mengangkat jari tangan.
2. Duduk antara dua sujud
Dalam duduk antara dua sujud Rasulullah memulainya
dengan mengangkat kepalanya seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangannya,
beliau mengangkat kepalanya sebelum kedua tangannya kemudian duduk secara
iftirasy, yaitu membentangkan kakinya yang kira dan duduk di atasnya serata
menegakkan yang kanan.
Imam An Nasa’I menyebutkan dari Ibnu Umar ia
berkata: “Di antara yang termasuk sunnah shalat adalah menegakkan kaki telapak
kaki kanan dan menghadapkannya ke arah kiblat beserta jari-jarinya, dan duduk
di atas telapak kaki kiri”. (Sunan An Nasa’I, no: 1159). Dan beliau belum
pernah menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alihi Wasallam selain dari sifat
duduk ini. [100]
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni : Adalah sunnah
duduk di antara duduk secara iftirasy, yaitu menekuk kaki kiri serta
membentangkannya dan duduk di atasnya, dan menegakkan kaki kanan serta
mengeluarkannya dari bagian bawahnya dan menjadikan telapak jari-jarinya di
atas tanah dengan bersandar di atasnya dan menghadapkannya ke arah kiblat. [101]
3. Tata
Cara Duduk Tasyahhud
Hadits yang pertama, yaitu:
" عن عامر بن
عبد الله بن الزبير عن أبيه قال: (كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قعد في الصلاة
جعل قدمه اليسرى بين فخذه وساقه وفرش قدمه اليمنى, ووضع يده اليسرى على ركبته
اليسرى ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى وأشار بإصبعه ".
Artinya: “Dari Amir bin Abdullah bin az-Zubair dari bapaknya ia
berkata: ”bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam jika duduk di
dalam shalat beliau menjadikan telapak kakinya yang kiri berada diantara paha
dan betisnya dan membentangkan telapak kakinya yang kanan, dan beliau
meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan
tangannya yang kanan di atas pahanya yang kanan dan beliau berisyarat dengan
jari telunjuknya.” [102]
Hadits ini adalah menunjukkan duduk pada rakaat terakhir dan ini
adalah salah satu dari dua sifat duduk tasyahhud yang diriwayatkan.
Adapun hadits
yang kedua adalah:
" قال أبو
حميد الساعدي: (أنا كنت أحفظكم لصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم, رأيته إذا كبر
جعل يديه حذاء منكبيه, وإذا ركع أمكن يديه من ركبتيه, ثم هصر ظهره, فإذا رفع رأسه
استوى حتى يعود كل فقار مكانه, فإذا سجد وضع يديه غير مفترش ولا قابضهما, واستقبل
بأطراف أصابع رجليه القبلة, فإذا جلس في الركعتين جلس على رجله اليسرى ونصب
اليمنى, وإذا جلس في الركعة الآخرة قدم رجله اليسرى ونصب الأخرى وقعد على مقعدته
".
Artinya: “Abu Humaid As Sa’idiy berkata: “Aku adalah orang yang
paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, aku melihat beliau apabila takbir beliau menjadikan kedua tangannya
berada di depan kedua pundaknya, dan apabila ruku’ beliau meletakkan kedua
tangannya di atas kedua lututnya kemudian menekuk punggungnya, dan apabila
beliau mengangkat kepalanya (bangkit dari ruku’) tegak lurus sehingga semua
persendian kembali kepada tempatnya semula, dan apabila sujud beliau meletakkan
kedua tangannya tidak membentang dan tidak pula menggenggam, dan menghadapkan
ujung-ujung jari-jari kakinya ke arah kiblat, dan apabila duduk dalam dua
raka’at pertama(untuk tasyahhud) beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan
menegakkan kakinya yang kanan, dan apabila duduk dalam raka’at terakhir beliau
memajukan kakinya yang kiri dan
menegakkan kakinya yang kanan dan beliau duduk di atas tempat duduknya.” [103]
Maka Abu Humaid menyebutkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam menegakkan kakinya yang kanan, dan Ibnu Zubair menyebutkan bahwasanya
beliau membentangkannya, dan tidak seorang pun yang mengatakan tentang itu,
sesunggguhnya ini adalah sifat duduk dalam tasyahhud pertama, dan tidak seorang
pun mengatakannya demikian tetapi sebagian orang ada yang mengatakan:
Duduk tawarruk dalam dua tasyahhud, ini adalah madzhab Imam Malik
Duduk iftirasy dalam dua tasyahhud, menegakkan kaki kanan dan
membentangkan kaki kiri dan duduk di atasnya, ini adalah perkataan Abu Hanifah.
Duduk tawarruk dalam setiap tasyahhud yang setelahnya salam, dan
iftirasy dalam tasyahhud yang lai, ini adalah perkataan asy-Syafi’i.
Duduk tawarruk dalam tasyahhud terakhir pada setiap shalat yang di
dalamnya ada dua tasyahhud, sebagai pembeda antara dua duduk yang lain, ini
adalah perkataan Imam Ahmad.
Adapun makna hadits Ibnu Zubair di atas bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam membentangkan kaki kanannya adalah, sesungguhnya
beliau duduk di atas tempat duduknya, maka telapak kaki beliau yang kanan dalam
keadaan terbentang, dan telapak kakinya yang kiri berada diantara paha dan
betis beliau, dan tempat duduknya di atas tanah, maka terjadilah perbedaan
dalam telapak kaki beliau yang kanan, apakah ia terbentang(mufrusyah) atau
tegak(manshubah)? Dan ini -Allhu A’lam- pada hakikatnya bukanlah perbedaan,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak duduk di atas
telapak kakinya, tetapi beliau mengeluarkannya di sebelah kanannya, maka
jadilah telapak kakinya yang kanan antara tegak dan terbentang, maka
sesungguhnya itu adalah telapak kaki yang kanan, maka ia terbentang dalam
artian tidak menegakkanya tetapi duduk di atas tumitnya, dan tegak dalam
artian, sesungguhnya beliau tidak duduk di atas telapak kakinya dan punggung
kakinya menghadap ke tanah, maka betullah apa yang dikatakan Abu Humaid dan
orang-orang yang sependapat dengan beliau, adapun perkataan Ibnu Zubair atau
dikatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan begini
dan begini, maka itu adalah beliau menegakkan telapak kakinya yang kanan, dan
beliau sesekali membentangkannya dan itu lebih enak bagi beliau. Wallahu A’lam.[104]
4. Menggerakan
Jari Ketika Tasyahud
Banyak dari kaum muslimin yang masih memperselisihkan masalah yang
mestinya sudah jelas untuk dikerjakan. Diantaranya adalah tata cara turun ke
sujud, apakah mendahulukan tangan atau lutut dahulu. Sejatinya masalah ini telah
berlalu sejak zaman Khulafa’ Rasyidin.
Para Ulama berselisih pandapat dalam masalah ini dan masing-masing
pendapat dikuatkan dengan alasan masing-masing, yaitu:
Jumhur mengatakan tidak bolehnya menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika
tasyahud namun bila tetap dilakukan maka hukumnya menjadi makruh sedang
sholatnya tetap sah.
Haram untuk menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan
batallah shalatnya. Akan tetapi pendapat ini lemah yang telah diriwayatkan oleh
Abi Ali dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu.
Disukai menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.Yang
berpendapat demikian adalah Syaikh Abdul Hamid al Bandaniji, Qadli Abu Thalib
dan selainnya. Mereka beralasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat Wail bin Hujr Radhiyallahu 'Anhu bahwa beliau melihat salat Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika tasyahud dan beliau Shallallahu 'Alaihi
Wasallam berkata :
"
ثمَ رفع أ صبعه فرأته يحركها يدعو بها
".( رواه البيهقى )
Artinya: “Kemudian aku melihat beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mengangkat dan menggerak-gerakan jarinya lalu berdoa dengannya”. (HR.
al-Baihaqi) [105]
Sedangkan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Zubair Radhiyallahu
'Anhuma bertolak dengan hadits diatas
yang berbunyi :
" أن النبيَ صلََََََى الله عليه وسلَََم كان يشير بأصبعه اذا
دعا لايحركها ".( رواه أبوداود )
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
mngisyaratkan dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerak-gerakkannya.”
(HR Abu Dawud)[106]
Al-Baihaqi Rahimahullah mengatakan: “Hadits ini mengandung kemungkinan
bahwa maksud menggerakan jari di sini adalah berupa isyarat saja tidak dengan
menggoyang-goyangkan jari sehingga hadits ini bisa bersesuaian dengan yang
telah diriwayatkan oleh Ibnu Jubair Radhiyallahu 'Anhuma.” [107]
Para Ulama sepakat untuk menggerakan jari ketika duduk tasyahud dalam
shalat akan tetapi mereka berselisih apakah digoyangkan atau tidak.
Imam Malik Rahimahullah berpendapat untuk menggerakan jari kekanan dan
kekiri hikmahnya adalah mengingatkan orang yang sedang shalat sebab pangkal
jari itu bersambung dengan hati sehingga hati ikut bergerak dengan begitu hati
akan selalu bergerak dan ingat pada Allah Ta'ala, hikmah lainnya adalah dapat
menyakiti setan sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu
Umar Radhiyallahu 'Anhuma.
Adapun Imam Ahmad berpendapat tidak menggerakan jari. [108]
Imam As Syafi’i Rahimahullah berkata: “Mengisyaratkan jari ketika
mengucapkan الا الله dan tidak
menggerakkannya serta mengangkat tangan hingga bangun untuk tasyahud awal dan
salam ketika tasyahud akhir.”
Imam Abu Hanifah Rahimahullah berpendapat mengangkat jari ketika membaca
لا اله dan meletakkannya kembali diatas paha
ketika membaca الله الاmenangkat jari sebagi bentuk
penafsiran dari Illah dan meletakkannya sebagai tafsiran dari penetapan atas
Allah Ta'ala.” [109]
5. Lafadz sayyidina
ketika mengucap shalawat dan Lafadz-lafadz sholawat yang masyhur
Lafadz-lafadz sholawat yang masyhur
" عن أبي
مسعودٍ قال : أتانا رسول الله صلى الله عليه وسلم و نحن في مجلس سعد بن عبادةَ, فقال له بشير بن سغدٍ : أمر نا الله أن
نصلي عليك, فكيف نصلى عليك ؟ قال: فسكتَ رسول الله صلى الله عليه وسلم حَتَّى
تَمَنَيْنَا اَنَّهُ لم يسأله, ثمّ قال رسول الله صلى الله عليه وسلمو قوله :
((اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إبراهِيم و على آل ابرلمتفق علي ابراهيم و بارك
على محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ
علَى ابراهيم و على آل ابراهيم إنك حميد مجيد)) و السلام كما قد عملتم ".
(رواه أحمد و مسلم و النسائي و الترمذي و صحّحه)
Artinya: “Dari Abu Mas’ud Radliyallahu 'Anhu ia berkata:
“Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam pernah datang kepada kami, yang waktu
itu kami sedang duduk-duduk dengan Sa’ad bin Ubadah Radliyallahu 'Anhu, lalu
Basyir bin Sa’ad berkata kepadanya: “Kami diperintahkan untuk bershalawat untuk
engkau, maka bagaimana kami harus beshalawat untuk itu ? Abi Mas’ud
Radliyallahu 'Anhu berkata : “Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam kemudian
diam, sehingga kami merasa lebih tenang seandainya Basyir tidak bertanya,
kemudian Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Katakanlah:
ALLAHUMMA SHALLI ‘
Dan bagi Imam Ahmad
Rahimahullah dalam satu lafadz yang lain, seperti itu juga, tetapi disana ada
kata-kata: “Bagaimana kami bershalawat untuk mu jika kami bershalawat dalam
shalat kami?
Menurut Madzhab Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa Shalawat atas Nabi
Shallalahu 'Alaihi Wasallam adalah
sebagai berikut:
" اللّهمَّ
صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إبراهِيم و على آل ابرلمتفق علي ابراهيم و بارك
على محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ
علَى ابراهيم و على آل ابراهيم في
العالمين إنك حميد مجيد ".[111]
Adapun menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hambal
bahwa shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam sebagai berikut :
"
اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إبراهِيم إنك حميد مجيد و بارك على محمّدٍ و على آل محمّدٍ كمَا بَرَكْتَ علَى
ابراهيم و على آل ابراهيم في العالمين إنك حميد مجيد ".
Yang kemudian
pengikut-pengikut Imam Syafi’ie menambahkan lafadz “Sayyidina” di dalamnya,
yang lafadznya berbunyi (سيّدنا محمّد, سيّدنَا
أبراهيم) [112]
Adapun lafadz shalawat yang lainya adalah sebagai berikut:
" اللّهمَّ
صَلِّ علَى محمّد النبي الأمتي و على آل محمّدٍ كماَ صَلَّيْتَ عَلىَ إبراهِيم و بارك على محمّدٍ النبي الأمتي و على آل محمّدٍ كمَا
بَرَكْتَ على آل ابراهيم في العالمين إنك حميد مجيد ".[113]
"
اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على ازوجه وذريته, كما صَلَّيْتَ عَلىَ إبراهِيم, و بارك على محمّدٍ و على ازوجه وذريته كمَا بَرَكْتَ على
ابراهيم إنك حميد مجيد ". [114]
Dan masih
banyak lagi lafadz-lafadz shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam di
dalam kitab-kitab hadits yang shahih dan hasan, yang semua lafadz-lafadz
shalawat atas Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam di atas boleh digunakan
berdasarkan riwayatnya yang shahih, dan karenannya Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
menerangkan/menjelaskan dalam kitabnya “al-fatawa al-Kubra”, bahwasanya
orang-orang yang mengikut/memilih lafadz-lafadz do’a, dzikir dan yang lainnya
yang diucapkan/diajarkan Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dengan lafadz yang
bermacam-macam, atau diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda maka
hukumnya Mustahab.[115]
Lafadz sayyidina di waktu sholat dan di luar sholat
Ulama’ berselisih dalam menghukum tambahan lafadz
“Sayyidina” dari Ibnu Hajar Rahimahullah menegaskan: “Yang lebih utama
hendaknya mengikuti lafadz-lafadz yang telah jelas-jelas keshahihanya,
sedangkan menambahkan lafadz sayyidina dalam shalat tidak ada satu riwayatpun dari
kalangan Shahabat dan juga tabi’ien yang membenarkannya.
Imam Syafi’I Rahimahullah adalah dikenal dengan
orang yang paling banyak di dalam menghormati Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam,
beliau berkata di dalam tulisan khutbahnya yang dijadikan pedoman/pegangan bagi
pengikut madzhabnya yang berbunyi: “….. disini jelas bahwa Imam Syafi’i tidak
menambah dengan lafadz “Sayyidina” didalamnya, bahkan dalam kitab fiqih 4 Imam
Madzhab disebut bahwa pengikut madzhab beliaulah yang telah menambahkan lafadz “sayyidina” di
dalamnya.
Maka menambahkan lafadz ‘Sayyidina” dalam shalat
tidaklah dibenarkan, karena menambah dan mengurangi atau bahkan menambah
sesuatu yang telah disyariatkan adalah perbuatan dosa dan ketahuilah bahwasanya
asal ibadah adalah tauqif(Paketan).
Adapun tambahan lafadz “Sayyidina” di luar shalat
di perbolehkan asalkan tidak menambahkan sesuatu yang telah disyariatkan,
karena memang asal ibadah itu adalah tauqif yang tidak boleh kita mengurangi,
menambah atau bahkan merubahnya.[116]
Kesimpulan :
Perlu kita ketahui bahwasanya apa saja yang Nabi
Shallalahu 'Alaihi Wasallam ucapkan atau ajarkan kepada kita dengan lafadz yang
bermacam-macam ataupun diriwayatkan dengan riwayat dari sekian riwayat-riwayat
yang shahih sebagai contoh dalam riwayat bahwa Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam
pernah mengajarkan shalawat dengan bunyi lafadz :
" اللّهمَّ
صَلِّ علَى محمّد و على آل محمّدٍ....................".
Dan ada juga
riwayat lain, bahwa Nabi Mengajarkan sholawat dengan lafadz …..
"
اللّهمَّ صَلِّ علَى محمّد و على ازوجه
وذريته.......".
Dari
riwayat-riwayat yang ada di atas kita boleh memilihnya karena hukumnya
mustahab, demikian perkataan Ibnu Taimiyah Rahimahullah di dalam kitabnya al-
Fatawa al-Kubra.
Adapun menambahkan lafadz “Sayiddina” dalam shalawat di dalam shalat
tidak ada satu riwayatpun dari kalangan Shahabat dan tabi’ien yang
membenarkannya, adapun menambahkannya di dalam shalawat di luar waktu shalat
diperbolehkan asalkan tidak mengubah makna yang asli dari ibadah yang sudah
tauqif(paketan).
6. Duduk Iq’a
Duduk Iq’a adalah duduk dengan menegakan kedua
telapak kaki, adapun hukumnya ada yang mubah dan ada yang dimakruhkan, dalam
hadits diterangkan :
"
و عن أبي هريرة قال : نهانى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ثلاث : عن نقرة كنقرة
الديك واقعار كاقعار الكبا والتفات كالتفات الثعلب ". (رواه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah
Radliyallahu 'Anhu beliau berkata: “Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
telah melarang dari tiga hal dalam shalat: mematuk seperti matuknya ayam, duduk
sebagaimana duduknya anjing, menolak sebagaimana menolehnya serigala.” [117]
Al Iq’a ada dua macam, yaitu:
- Menempelkan/meletakkan pantat dan
kedua tangan di tanah dan mengangkat kedua ketisnya, hal ini menyerupai
iq’anya/duduknya anjing, dan yang demikian di makruhkan sebagaimana
disebutkan dalam hadits akan larangannya.
2. Meletakkan pantat di atas kedua tumit dan kedua lutut di tanah
dan ini merupakan sunnah sebagaimana yang dimaksudkan Ibnu Abbas rama
disebutkan dalam hadits
" قال : فلنا
لا بن عابس في الا ئقعار على القدمين ؟ فقل : هي السنة ". (أحرجه مسلم
وأبوداود والترميدي , وزاد وأبوداود بعد
"القدمين في السجود)
Artinya: “Kami telah bertanya kepada Ibnu Abbas Radliyallahu
'Anhu perihal(duduk) iq’a di atas telapak kaki, maka beliu berkata: “hal
tersebut merupakan sunnah.” 1)
Berkata
imam at-Turmudzi
" لانفع بين
السجدتين ".
Artinya: “Jangan kamu lakukan(iq’a) diantara
dua sujud.”
Hadits ini melarang akan larangan iq’a yang bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhuma, beliau
berkata: “Merupakan sunnah (dalam sholat) kedua tumitmu menyentuh pantatmu.”
Para Ulama’ menjelaskan dan jama’/penggabungan antara
kedua hadits: yang melarang/memakruhkan iq’a dengan hadits yang diriwayatkan
Ibnu Abbas Radliyallahu 'Anhuma yang menyatakan akan kebutuhannya dan
disunnahkan.
Imam al-Baihaqi, Qodli bin ‘Iyadh, Ibnu Shaleh,
an-Nawawi dan jama’ah para Muhaqidin menyatakan bahwa hadits yang melarang iq’a
adalah berlaku ketika posisi duduk iq’a tersebut menyerupai iq’anya anjing.
Adapaun iq’a sebagaimana yang dijelaskna Ibnu Abbas
Radliyallahu 'Anhu yang lainnya in merupakan Sunnah Nabi Shallalahu 'Alaihi
Wasallam sebagaimana pengertian diatas.
Kesimpulan
:
Dijelaskan bahwa yang menyatakan hadits –hadits tertang
iq’a itu marsuluh (terhapus) maka itu dikarenakan ketidaktahuannya dari
sejarah-sejarah hadits tersebut.
Tidak boleh
mendahulukan nash (metode penghapusan hadits) tanpa melalui metode jami
(penggabungan) antara kedua haditsnya tersebut.
Ibnu Hajar Al Maliki Rahimahullah menyatakan:
“Bahwasannya duduk iftirosy antara dua sujud itu lebih afdlal dari duduk iq’a,
meskipun keduanya disunnahkan, karena hal tersebut lebih banyak dilakukan Nabi
Shallalahu 'Alaihi Wasallam.[118]
7. Duduk Istirohat Di Dalam Shalat
Sholat adalah faridlah atas setiap muslim, maka
melaksanakannya harus sesuai dengan apa yang telah ditetapakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau bersabda
" صلّوا كما رأيتمونى أصلّي ".
Artinya: “Sholatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku sholat.” [119]
Pengertian duduk istirahat
DR.
Wahbah Az-Zuhaily berkata: “Duduk istirahat adalah duduk ringan setelah sujud
kedua, disetiap raka’at yang akan berdiri(raka’at yang tidak ada tasyahhud”.[120]
Syaikh
Sayyid Sabiq berkata: “Duduk istirahat adalah duduk ringan yang dilakukan
seseorang setelah sujud kedua dari raka’at pertama sebelum berdiri pada raka’at
kedua, dan setelah sujud kedua dari raka’at ketiga sebelum berdiri ke raka’at
ke empat”.[121]
Cara duduk
istirahah
Para Ulama’
berbeda pendapat tentang tata-cara duduk
istirahah, adapun pendapat mereka sebagai berikut:
Madzhab
asy-Syafi’i berpendapat bahwa duduk istirahah adalah dengan iftirasy, yaitu
sebagaimana duduk diantara dua sujud. Hal ini berdasarkan dalil hadits dari Abu
Hamid alaihis salam-Sa’idy Radhiallahu'anhu
" ثمّ ثنى رجله و قعد و اعتدل
حتّى رجع كلّ عضوفي موضعه ثمّ نهض ".(رواه أبو داود و الترمذي و قال حديث حسن
صحيح)
Artinya: ”Kemudian Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam melipat
kakinya dan duduk serta menyempurnakan(lurus) hingga kembali setiap persendian
pada tempatnya, lalu beliau bangkit.” [122]
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu
Al-Khallah berkata: ”Telah diriwayatkan dari
Imam Ahmad Rahimahullah bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk di
atas dua pantatnya(duduk Iq’a) ketika duduk istirahah.”
Al-Qadli berkata: ”Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam duduk di atas telapak kaki dan pantatnya yang ditempelkan di
bumi(tanah), karena bila Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam duduk dengan
iftirasy(menyebabkan beliau tidak aman) dari kelupaan sehingga beliau ragu
apakah duduk sajadah pertama atau kedua.”
Abul Hasan al-Midy berkata: ”tidak ada
perselisihan diantara para shahabat kami bahwa Rasulullah Shallalahu 'Alaihi
Wasallam tidak menempelkan kedua pantatnya di bumi(tanah) ketika duduk
istirahah akan tetapi bergantung(duduk iftirasy).”
Hukum duduk istirahat
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang
hukum duduk istirahah, dan masing-masing mereka memiliki dalil yang menguatkan
pendapatnya, diantara ikhtilafnya ialah:
1. Pendapat
yang menyatakan sunah.
Madzhab asy-Syafi’iyah berpendapat
bahwa dududk istirohah adalah sunnah. [123] baik ia sebagai makmum ataupun imam ataupun
dalam keadaan sholat sendirian.
Imam An- Nawawi Rahimahullah berkata: ”Yang
benar dan masyhur dalam madzhab kami(madzhab Syafi’i) bahwasanya duduk
istirahat itu disunnahkan. Demikian pula yang dikatakan oleh: Malik bin
Huwairits, Abu Hamid, Abu Qatadah dan sebahagian dari kalangan Shahabat, dan
ini juga pendapat Abu Qutaibah dan selainnya
dari kalangan Tabi’in’.
At- Tirmidzi Rahimahullah berkata: ”Ini juga merupakan pendapat
shahabat-shahabat kami, dan pendapat ini juga merupakan madzhab Abu Dawud dan satu riwayat dari Imam Ahmad”. [124] Golongan ini berhujah dengan dalil
diantaranya :
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata: ”adapun shahabat-shahabat kami
berhujjah dengan hadits yang bersumber dari Shahabat Malik bin Huwairits
Radhiyallahu'anhu
" أنّه رأى
النييّ صلى الله عليه وسلم يصليّ فإذا كان
في وتر من صلاته لم ينهض حتّى يستوي قائدا". (رواه النخاري)
Artinya:
”Bahwa Malik bin Huwairits Rahimahullah melihat Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam shalat, maka apabila beliau sampai pada rakaat yang
ganjil(rakaat pertama dan ketiga) dari shalatnya beliau tidak langsung berdiri
hingga beliau duduk dengan sempurna.” [125]
Imam an-Nawawy Rahimahullah berkata:
”ketahuilah bahwa duduk istirahah merupakan amalan Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam di dalam shalat setelah sujud kedua pada rakaat pertama dan
ketiga) maka madzhab kami mensunnahkannya berdasarkan hadits-hadits shahih
tersebut. Dan tidak disunnahkan duduk istirahah itu ketika sujud tilawah.” [126]
Ibnu Hajar al-Asqalany Rahimahullah berkata
setelah menyebutkan hadits dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu'anhu: ”dalam
hadits tersebut dijelaskan masyru’iyyah duduk istirahah. Adapun pendapat yang
menyatakan bahwa duduk istirahah itu dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam karena ada sebab karena beliau telah tua atau yang lainnya
beliau mengomentarinya: ”pada asalnya hadits tersebut tidak menyebutkan adanya
‘illah(sebab) sesuatu yang mengkhususkan Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
duduk istirahah, dikarenakan Malik bin Huwairits Radhiyallahu'anhu adalah
seorang Shahabat yang meriwayatkan hadits “Shalatlah kalian sebagaimana kalian
melihat aku shalat” maka riwayat beliau
dalam menjelaskan sifat shalat Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam termasuk
dalam hal ini”. [127]
al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah
wal Ifta’ menyatakan bahwa Ulama’ telah bersepakat tentang duduknya seseorang
yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga
sebelum bangkit pada rakaat kedua dan keempat bukan termasuk dari
kewajiban-kewajiban shalat dan bukan pula termasuk dari sunnah-sunnah yang
ditekankan. Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat apakah ia merupakan sunnah
biasa atau bukan merupakan amalan di dalam shalat atau dilakukan bagi siapa
saja yang butuh terhadap duduk istirahah tersebut dikarenakan tua, sakit, atau
badan yang berat.
Tidak disebutkan duduk istirahah dalam beberapa
hadits yang menjelaskan tentang sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi
Wasallam bukan berarti duduk istirahah tersebut tidak ada, minimal ada beberapa
hal yang menguatkan bahwa duduk istirahah merupakan sunnah dari Rasulullah
Shallalahu 'Alaihi Wasallam yaitu, pada asalnya perbuatan yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam adalah untuk diikuti.
Telah tetapnya hadits yang menjelaskan
tentang duduk istirahah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallalahu 'Alaihi
Wasallam di dalam hadits Abu Sa’id alaihis salam-Sa’idy Radhiallahu'anhu yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad Jayyid (baik) bahwa Abu Sa’id
as-Sa’idy menjelaskan sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam
kepada 10 orang Shahabat beliau kemudian mereka membenarkan apa yang
disampaikan oleh Abu Sa’id as-Sa’idy Radhiallahu'anhu. Wallahu A’lam. [128] Dan adapun hadits diatsa
dijadikan dasar oleh madzhab Asy Syafi’i dan segolongan ahli hadits tentang
sunnahnya melaksanakan duduk istirahah.
2. Pendapat yang menyatakan bukan sunah
Dan kebanyakan para Ulama’ dan sebagian besar dari mereka
berpendapat bahwa duduk istirahat itu tidak disunnahkan, maka apabila seseorang
mengangkat kepalanya dari sujud(kedua) ia langsung berdiri.[129]
Imam
Bukhary Rahimahullah juga meriwayatkan dari jalan yang banyak hadits yang
sesuai maknanya, yaitu dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu
"
عن أبي هريرة رضي الله عنه أنّ النييّ صلى الله عليه وسلم في حديث المسيء صلاته : اسحد حتّى تطمئن ساجدا
ثمّ ارفع حتّى تطمئن جالسا ثمّ اسجد حتّى تطمئن ستجدا ثمّ ارفع حتّى تطمئن
جالسا". (رواه البخاري)
Artinya:
”Dari Abu Hurairah Radhiyallahu'anhu sesungguhnya Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam dalam hadits musi’(orang yang buruk shalatnya) bersabda
padanya:sujudlah hingga kamu benar-benar(sempurna) sujud, kemudian bangkitlah
hingga kamu benar-benar(sempurna) duduk, kemudian sujuslah hingga kamu
benar-benar(sempurna) sujud, kemudian bangkitlah hingga kamu
benar-benar(sempurna) duduk.“ [130]
Dari
Abu Hamid Radhiyallahu'anhu dan selainnya dari kalangan Shahabat mereka
mensifati shalar Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam
" ثمّ هوى
ساجدا ثمّ ثنى رجله حتّى رجع كلّ عظم موضوه ثمّ نهض ".
Artinya: ”Kemudian beliau turun untuk
sujud lalu beliau melipat kakinya dan duduk hingga kembali setiap persendian
pada tempatnya, kemudian beliau berdiri.“ [131]
Dari dali-dalil ini menyebutkan bahwa
kebanyakan para Ulama’ berpendapat bahwa hukum duduk istirahat tidak
disunnahkan, maka apabila seseorang mengangkat kepalanya dari sujud kedua dari
raka’at pertama dan ketiga maka ia
langsung berdiri.[132]
Ibnul Mundzir Rahimahullah meriwayatkan
pendapat ini dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas Radhiyallahu'anhum, dan
Abi Zinad, Imam Malik, Ats- Tsaury, Ashhabur Ro’yi, Ahmad dan Ishaq
Rahimahumullah .
Nu’man bin Abbas Rahimahullah berkata: ”aku
telah banyak menemui lebih dari seorang Shahabat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi
Wasallam melakukan ini (langsung berdiri tanpa duduk istirahah).”
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berkata:
”Banyak hadits-hadits yang menjelaskan hal ini(yaitu langsung berdiri tanpa
duduk istirohat), dan beliau(Imam Ahmad) berhujjah dengan hadit musi’ yaitu
hadits tentang Rasul yang mengajarkan shalat kepada seseorang yang buruk
shalatnya dan disebutkan didalamnya tentang duduk istirahah.“
Sebagian Ulama’ berpendapat seandainya hal
tersebut sunah maka pasti akan disebutkan dalam sifat shalat Nabi Shallalahu
'Alaihi Wasallam yang menguatkan adalah bahwa beliau melakukannya karena hajat
dan tidak ada ittifaq/kesepakatan para ulama atasnya. Al Khollal menyebutkan
tentang dasar hadits yang digunakan
golongan yang mensunnahkannya, bahkan beliau sebutkan dua hadits akan tetapi
beliau tidak melaksanakannya.[133]
Pendapat yang rojih
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: “Adapun
banyaknya hadits mengenai hal ini tidaklah memperkuat ataupun menghapus hadits
lainnya, karena hadits tersebut berupa kabar semata dan kami telah mendapatkan
perselisihan dalam maslah ini, bila hadits dari Wa’il Radliyallahu 'Anhu
tersebut berupa taqrir Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dengan banyaknya
riwayat, namun tidak menunjukan kuatnya atau menghapus hadits lain. Dan tiadk
dilazimkan menolak satu sunah dengan sunah lainnya. [134]
al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah
wal Ifta’ menyatakan bahwa Ulama’ telah bersepakat tentang duduknya seseorang
yang shalat setelah bangkit dari sujud kedua pada rakaat pertama dan ketiga sebelum
bangkit pada rakaat kedua dan keempat bukan termasuk dari kewajiban-kewajiban
shalat dan bukan pula termasuk dari sunnah-sunnah yang ditekankan. Akan tetapi
para Ulama berbeda pendapat apakah ia merupakan sunnah biasa atau bukan
merupakan amalan di dalam shalat atau dilakukan bagi siapa saja yang butuh
terhadap duduk Istirahah tersebut dikarenakan tua, sakit, atau badan yang
berat.
Setelah menyebutkan tiga pendapat yang
berbeda sebagaimana telah dipaparkan di atas, al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts
al-Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan bahwa yang tampak dari amalan duduk Istirahah
adalah merupakan sunnah yang mutlaq. Adapun menjama’ dari berbagai pendapat
yang bertentangan tersebut adalah bahwa duduk istirahah dilakukan bila kondisi,
dan yang masyru’ adalah bagi yang membutuhkan untuk duduk tersebut.[135]
Imam ath-Thahawy Rahimahullah berkata:
”seandainya duduk istirahah itu disyari’atkan, tentulah Rasulullah Shallalahu
'Alaihi Wasallam menyebutkannya sebagaimana beliau menyebutkan yang lain.”
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
“Tidak boleh mengingkari seorang yang tidak mengerjakan dengan orang yang
mengerjakannya walaupun ia seorang makmum sedangkan imamnya melaksanakan duduk
tersebut karena hal ini adalah perkara ijtihad. bahwasanya mengikuti imam
adalah lebih utama. Dan sebagaimana bila imam berdiri dari tasyahud awal sedang
makmum belum menyempurnakannya dan ia menganggapnya sebagai sunah ataupun
sebagaimana imam yang telah melakukan salam sedang makmum masih menyelesaikan
do’a sebelum salam, beginilah perkara ijtihad dan yang terbaik adalah mengikuti
imam.”[136]
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: ”Seandainya
duduk istirahah merupakan petunjuk dari Nabi Shallalahu 'Alaihi Wasallam dan
merupakan sesuatu yang disunnahkan, tentulah beliau akan melaksanakannya
terus-menerus dan akan disebutkan di dalam hadits oleh siapa saja yang
menyebutkan sifat shalat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam, dan
kesendirian beliau melaksanakan duduk ini maka hal ini tidak menunjukkan bahwa
duduk istirahah termasuk dari sunnah-sunnah shalat kecuali jika beliau
memberitahukan bahwasanya beliau melaksanakannya semata-mata hanya karena
kebutuhan maka hal ini tidak menunjukkan bahwa duduk istirahah termasuk
sunnah-sunnah shalat. Ini merupakan Tahqiqul Manath(menetapkan hukum sesuai
kenyataan) dalam masalah ini.
Ini merupakan pendapat penengah yang
disebutkan oleh Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam kitab “ al-Mughny ” yaitu
apabila apabila seseorang yang shalat itu dalam keadaan lemah maka hendaklah ia
duduk istirahah karena ia memang butuh untuk duduk, namun apabila ia dalam
keadaan kuat maka ia tidak perlu untuk duduk istirahah karena memang ia tidak
butuh. Dan bahwasanya Rasulullah Shallalahu 'Alaihi Wasallam melakukan duduk
istirahah tersebut di dalam shalatnya menjelang akhir hidupnya, yaitu ketika
beliau sudah tua dan lemah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata juga:
”pendapat ini merupakan kesimpulan dari beberapa khabar yang telah dikumpulkan
dan jalan pertengahannya dari dua pendapat yang berbeda antara yang
mensunnahkan dan yang tidak.” [137]
Imam Abu Hanifah, Malik dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad Rahimahumullah berkata: ”adapun hadits yang disebutkan
oleh Malik bin Huwairits itu terjadi menjelang akhir hidup Rasulullah
Shallalahu 'Alaihi Wasallam ketika badan beliau telah menjadi berat atau karena
sebab yang lain.”
f.
Ketika salam
1. lafadz salam baik kekanan atau kekiri
Adapun lafadz yang
masyhur dalam mengucap salam di akhir sholat yang biasa diucap kaum muslimin
adalah :
االسلام
عليكم و رحمة الله و بركاته
Hal ini berdasarkan hadits berikut ;
عن
وائل بن حجر رضي الله عنه قال : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فكان يسلم عن
يمينه السلام عليكم و رحمة الله و بركاته و عن شماله السلام عليكم و رحمة الله و
بركاته ( رواه أبو داود بإسناد صحيح )
Diriwayatkan dari sahabat Wail bin Hujr Radhiyallahu 'anhu berkata :
Aku sholat bersama Rasululloh Solallohu 'alaihi Wa Sallam maka beliau
mengucapkan salam kesebelah kanan dan kesebelah kiri السلام عليكم و
رحمة الله و بركاته [138]
Dalam hadits ini terdapat penambahan
yang merusak matannya, yang benar adalah lafadz salam pertama (kekanan)
menggunakan lafadz (السلام
عليكم و رحمة الله و بركاته ) sedangkan lafadz kedua
(kekiri) adalah (السلام
عليكم و رحمة الله ) tanpa tambahan و بركاته.[139]
Adapun kedudukan hadits tersebut, memang shohih dari Abu Daud. Namun penambahan
lafadz و
بركاته pada salam kedua (kekiri) terjadi
kesalahan pada hadits tersebut.[140] Untuk mengetahui kesalahan tersebut kita
harus merujuk pada kitab induknya, yaitu Sunan Abi Daud, yang ternyata tidak
ditemukan penambahan و بركاته pada salam kedua yaitu
bagian sebelah kiri.[141]
Dari beberapa keterangan diatas
dapat diketahui bahwa penambahan و بركاته pada salam kedua (kekiri) adalah tidak benar dan dapat
disimpulkan : Lafadz salam yang ada beberapa macam hadits yang shohih dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam diantaranya adalah :
. Baik kekanan atau kekiri dengan lafadz السلام عليكم
و رحمة الله و بركاته, hadits riwayat
Muslim 582, Abu Daud, An Nasai dan At Turmudzi.
. Kekanan dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله,
sedang kekiri dengan lafadz السلام
عليكم (hadits riwayat An Nasai, Ahmad dan As
Siraj dengan sanad yang shohih).
. Kekanan dengan lafadz السلام عليكم و
رحمة الله و بركاته sedang kekiri dengan
lafadz السلام عليكم
, ini berdasarkan hadits ;
عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال : صليت
مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فسلم عن يمينه السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
و عن يساره السلام عليكم و رحمة الله (أخرجه أبو داود، 1/262،997)
Artinya : dari Wail bin Hajar Radhiyallahu 'Anhu dia berkata, “Saya
shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maka Beliau mengucapkan
salam kekanan dengan lafadz السلام عليكم و رحمة الله و بركاته dan
kekiri dengan lafadz السلام
عليكم و رحمة الله.” [142]
Keterangan : Hadits ini shohih, dan dishohihkan oleh banyak ahli
ilmu. Ibnu Hajar berkata,“Hadits ini hasan.”
Penambahan و بركاته pada salam kedua tidak
benar dan tidak boleh diucapkan pada salam kedua.
Jadi Lafadz salam ada 3 macam yang dibenarkan
yaitu :
السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ
1.
Baik ke kanan maupun ke kiri, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud,
An Nasa’I dan Tirmidzi)
2. Ke kanan
dengan lafadh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ
اللهِ
Sedangkan ke
kiri dengan lafadh
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
(H.R.
An Nasa’I, Ahmad dan As Siroj dengan Sanad yang shoheh)
3. Kekanan
dengan lafadh :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَ كَاتُهُ
Sedangkan kekiri
:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ
اللهِ
(H.R.
Abu Dawud, Al Baghowy dalam Syarhu Sunnah : 696) hadits Shohih
Sedangkan lafadh salam seperti yang banyak di baca manusia yaitu :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ke kanan dan
begitu pula ketika menoleh ke kiri adalah
batil dan tidak benar.
Wallohu a'lam bis showab.
.
[1]
Bidayatul Mujtahid:2/200.
[2]
HR.al-Bukhary dan Muslim.
[3]
Al-Wafiy:11-13.
[4]
Kitabul Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah:1/194-195.
[5]
Al-amru bil ittiba’ wa an-nahyu ‘anil ibtida’As-suyuthi
[6]
Al-majmu’ syarhul Muhadzdzab:3/233.
[7]
Majmu’ Fatawa:22/221.
[8]
Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad:1/194.
[9] Al Majmu 2/243
[10] Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusy: 2/247
[11] HR. Muslim , Shohih Muslim :390
[12] Shohih Muslim Syarh An Nawawi : 4/82
[14] Ainul Ma’bud : 412
[15] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asyqolani :
2/461
[16] HR. Muslim , Shohih Muslim :391
[17] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani :
2/461
[18] Shohih Muslim Bis Syarhi An Nawawi :4/82
[19] HR. Bukhori , Shohih Bukhori :736
[20] Nailul Author Syaukani
:1/198
[21] Ibid : 739
[22] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani : 2/461
[23] Shohih Muslim Syarh An Nawawi : 4/82
[24] Al Mughni, Ibnu Qudamah :2/136
[25] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asyqolani :2/458-459
[26] Ibid
[27] HR.Abu Dawud,Ibnu Khuzaimah
dalam shohihnya dan Hakim dalam mustadraknya
[28] Fiqih Sunah juz 1 hal 198 ).
[29] Al-Majmu’ 3/280 dan
al-Mughny 1/478.
[30]
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/91.
[31]
Ibid.
[32]
Ibid.
[33]
Majmu’ Fatawa 22/276-278.
[34]
Hadits Nu’aim bin Mujmir, diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah no. 499,
an-Nasa’i 2/13, Ibnu Hibban no. 1801, al-Baihaqi 2/58, al-Hakim 1/230, ia
berkata: “Hadits ini shahih dengan syarat asy-Syaikhany(al-Bukhary dan
Muslim).
[35]
Diriwayatkan oleh ad-Dar Quthny 1/306.
[36]
Hadits Abu Hurairah, diriwayatkan oleh ad-Dar Quthny 1/307.
[37] Hadits riwayat Abu Hurairah,
Thawus, dan ‘Atha’.
[38] Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/291.
[39] Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab 3/288.
[40] Tafsir al-Qurthuby 1/96.
[41] Semoga benar apa yang
diakatan al-Muhaqqiq Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitabnya “al-Hadyu
an-Nabiyyu” bahwa Nabi Sallahu 'Alaihi wa Sallam kadang-kadang mengeraskan basmalah
dan kadang-kadang tidak melakukannya. Al-Hafidz menukil dalam “syarh
al-Bukhary” dari Imam al-Qurthuby Rahimahullah makna apa yang telah
diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrany Rahimahullah di dalam “al-Kabiir dan
al-Ausath” dari sa’id bin Zubair Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Bahwasanya
Rasulullah Sallahu 'Alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan basmalah dan
orang-orang musyrik memperolok-olok siulan dan tepuk tangan, mereka
berkata: “Muhammad menyebut Tuhan al-Yamamah – saat itu al-Fadzah dipanggil
denang Rahman – maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayar dalam surat
al-Isra’(17):110 yang artinya: “Janganlah kamu mengeraskan suaramudalam
shalatmu”, sehingga orang-orang musyrik mendengarnya dan menghinamu, “dan
janganlah kamu merendahkannya”, yaitu dari para Shahabat, maka janganlah kamu
perdengarkan bagi mereka.” (Riwayat Ibnu Jubair Rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhuma). Diriwayatkan oleh an-Naisabury di dlam “Taisir” ia
berkata: “Dan ini adalah penggabungan yang bagus jika riwayat ini benar, maka
ini menjadi sebab pelarangan untuk membacanya dengan keras.” Dan ia berkata
juga dalam “Majmu’ Zawa]’id” yaitu: “Bahwa para perawi hadits ini tsiqah(dapat
dipercaya).” Dan hal ini telah ditulis juga oleh Muhammad Rasyid Ridladi
dalam kitab “al-Mughny” juz I hal. 980.
[42] Majmu’ Fatawa 22/410.
[43] Majmu’ Fatawa 22/417.
[44] . Majmu’ Fatawa: 2/559
[45] HR.
Muslim
[46] HR
Abu Dawud
[48] Al Majmu’ III : 366
[49] Kitaabul Fiqh ala Madzaahibil Arba’ah,
Al-Jaziiry : 1/212.
[50] Fathul Baary,Ibnu Hajar : 2/464.
[51] Shahiihul Bukhaary, kitabul Adzaan : bab
87/740.
[52] Fathul Baary, Al-Asqaalany : 2/464.
[53] Ad-Diinul Khaalish : 2/218.
[54] Al-Mughny, Ibnu Qudamah : 2/507.
[55] Fathul Baary, Al-Asqalany : 2/464
[56] Majmu’ fatawa (edisi
[57] HR
Jama’ah kecuali Ahmad
[58] Al Majmu III 380
[59] HR
Baihaqig
[60] Zaadul Ma’ad I 215
[61] HR
Ad Daruqutni, Al Hakim dan Al Baihaqi
[62] Tuhfatul ahwadzi II: 129
[63]Nailul Autor II : 280
[64] Majmu III : 381
[65] Zaadul Maad I :215
[66] Syarhul Wajiiz I: 524
[67] Ad dinul KholisII: 240
[68] Bustanul Ahbar II: 554
[69] Tuhfatul Ahwadzi II : 123
[70] Fathul bari II : 549
[71] HR an-Nasa'I : 1077
[72] HR
Jama’ah
[73] Nailul Autor II : 280
[74] Tamamul Minnah 196
[75] Al Irwa II : 77-78
[76] Al Majmu’III 380-381
[77] Nailul Autor
[78] Ibanatul Ahkam I 328
[79] Fatawa Al Kubro I : 187
[80] Fatawa Lajnah Daimah VI 434
[81] HR. Imam yang
[82] HR. Ahmad, Abu Daud dan
Nasa’i
[83] HR. Abu Daud dan
Turmudzi, Turmudzi menshohehkannya
[84] HR. Bukhari dan Muslim
[85] Bisa dilihat dalam kitab Bustanul
Al-Ahbar Muktashor Nailul Author oleh ulama Al Azhar Asy Syeikh Faisol bin
Abdul Aziz Al Mubarok, Juz : 2 (dua) dalam bab : Kaifiyatu Sujud wa nazala ial
sujud” (cara sujud dan turun ke sujud)
[86] dalam sunan Tirmdzi, Juz : 2 hal : 201
dalam bab : Posisi Sujud pada dahi dan hidung di atas tanah (bumi). Hadits no :
280 hal ini sebagaimana yang dikerjakan
oleh ahli Ilmu bahwasanya hendaknya sujud seorang laki-laki pada dahi dan
hidungnya, karena apabila sujud seseorang pada dahi tanpa hidungnya hal ini
menurut kaum ahli ilmu berarti menghilangkan bagian dari sujud.
Dan telah di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya dari Wail bin Hajr bahwa ia melihat Rasulullah apabila beliau sujud
beliau meletakkan hidungnya di atas tanah (bumi). Hadits no : (18.861) dalam
riwayat yang lain hadits no : (18.862) sujud seseorang pada hidung bersama
dahinya.
[87] Ibnu Khuzaimah (1/80/2) dan Al-Maqdisi
dalam Al-Muktaroh dan Al-Hakim. Kemudian di shohihkan dan disepakati oleh Imam
Ar-Rahabi”.
[88] Imam Asy-Syafii berkata : Disunnahkan
ketika bangun dari sujud, hendaknya ia mengangkat kedua lututnya sebelum kedua
tangannya kemudian bagkit seraya menyandarkan kedua tangannya meskipun orang
yang sholat dalam keadaan kuat atau seorang
wanita.
à Imam
Malik bin anas berkata : Di Sunnahkan sekali mendahulukan kedua
tangannya atas kedua lututnya ketika akan turun sujud, dan hendaknya
mengakhirkan keduanya dari kedua lututnya, ketika akan bangkit dari sujud,
demikian pula dalam rekaat selanjutnya.
[89] Imam Malik bin Anas berkata : Disunnahkan
sekali meletakkan kedua tangannya seraya sejajar dengan kedua telingannya atau
jarak keduanya (lebih dekat) ketika dalam sujud serta merapatkan (menggengam)
jari-jarinya seraya dihadapkan ke arah kiblat”.
à Imam Abu Hanifah berkata : “Sesungguhnya yang paling afdhol
hendaknya meletakan wajahnya diantara kedua telapak tangannya dan disunnahkan
pula meletakan kedua telapak tanganya sejajar dengan pundaknya”.
{bisa dilihat dalam kitab : “Kitabul Fiqh a’lal
Madhzahibi Al-Arba’ah”. Oleh : Abdurrahman Al Jazairi : 242 : I , hal : 236 Bab
Kaifiyata sujud terbitan : Darul Kutub Al Ilmiyah. Tanpa tahun}
[90] Ibnu Khuzaimah (1/76/1) Daruquthni dan
Al-Hakim, Di Shahihkan di sepakati oleh Az-Zahabi adapun hadits tang tidak
sependapat dengan hadits ini tidak shohih hal ini dijelaskan oleh malik dari
Ahmad, seperti tersebut dalam Tahkiq oleh Al-Jauzi (108/2) dan Marzawi dalam Al
Masail ( 1/147/1) meriwayatkan pula dengan sanad shohih yang berasal dari
Al-Auzai menyebutkan bahwa : “Aku mengetahui orang-orang meletakkan
tangan-tangan mereka sebelum lutut-lutut mereka.
[91] (H.R. Abu Daud dan Ahmad dengan sanad
yang shohih, dishohihkan juga oleh
Abdulhaq dalam (Al-Kumul Kubro :
54/1). Dikatakan dupa pada kitab Tahajjud (56/1) sanad hadits ini sangat baik
dari pada hadits sebelumnya, yakni hadits Wa’il yang sangat bertentangan.
Catatan : Adapun perbedaan dengan onta
dalam sujud di atas ialah serupa dengan onta ketika akan berbaring. Onta ketika
akan berbaring terlebih dahulu meletakan dua lututnya (dalam Iisanul Arob).
Atau kamus lainnya, atau Tahawi dalam kamus Musykil asar dan Syahrul MA’aranil
Asar”.
[92] (H.R. Ibnu Khuzaimah (1/79/7) dan Ahmad
dan As-Siraj, dishohihkan oleh Al-Hakim dan di sepakati oleh Az-Zahabi
[93] (H.R. Bukhari dan Muslim)”
[94] (H.R. Muslim Abu Uwanah dan Ibnu Hiban.
à atau seperti yang diriwayatkan oleh Imam Qosim Sarqiti dalam
(Goribil HAdits) (2/70/2) dengan sanad Shohih dari Abi Hurairah menyebut :
“Jangan sekali-kali kalian berlutut seperti berlututnya onta yang berlari”.
à Dalam hal sujud ini Qosim mengatakan : “Jangan kamu menjatuhkan
diri bersama-sama seperti onta yang lari dengamn tidak tenang.
à hendaklah orang yang akan sujud, turun ke tempat sujud dengan
tenang menjatuhkan dua tangannya lebih dahulu barulah ke dua lututnya”.
[95] Shohih
Muslim, kitab Al Masajid, bab Istihbab Taqdimi adh-Dhari fil awwali al Waqti ,
No 619
[96] HR.
ad-Daruquthni, 1/349, didlaifkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Muayyan dan Ibnu Al
Madiniy Rahimahumullah
[97] al-Majani
2/382-384
[98] (Shohih Muslim, No 232 Kitab Ash Sholah
[99] (HR. Ahmad 1/221, Bukhari 1/197 Kitabul Adzan Bab La Yakuttu Tsauban, Muslim 1/354
Kitab Sholat, bab A’dhau As-Sujud)
1) Abu Dawud (579), Nasai 3/ 35, Ahmad (4/ 318) disahihkan oleh Ibnu
Hiban dan Ibnu Huzaimah
2) Abu Dawud (9880 Nasa’I (3/ 37) disahihkan oleh Nawawi di dalam
Majmu’ (3/ 454)
3) Muslim (579)
4) Zudul Ma’ad (1/ 231)
1) Tamamu’ minnah, hal : 214-215
[100] Zaadul Ma’ad Fie Hadyi Khairil ‘Ibad, juz I, hlm 230
[101] Al Mughni Ibnu Qudamah, juz II, hlm 205
[102] HR.
Muslim no:579 V/68
[103] HR.
Bukhari no:828 II/567
[104] Diterjemahkan dari Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil
‘Ibaad,juz I, hal 132-133 karangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
[105] Al Baihaqi II : 132
[106] Aunul Ma’bud III : 280
[107] Al Majmu’ III 416
[108]Ibanatul Ahkam I: 328-329
[109]Fikih Ala madzahib Al Arbaah I: 240
[110] Nailul Author II, 320
[111] kitab Al Fiqh Ala Madzhahib Al Ar ba’ah,
241
[112] Nailul Author : 320
[113]Sifat Sholat Nabi, 171-178
[114] diriwayatkan Muslim bab Sholawat atas Nabi setelah tasyahud dan
Bukhari didalam kitab “da’awat”, 6.360
[115] al-fatawa al-Kubra hal.190-193
[116] al-Qaulul Mubin fie Akhthail Mushallin:
153-154
[117] HR.
Ahmad
1) Diriwayatkan oleh Muslim No 995 dalam sholat dalam bab HR Turmudzi No 366 dalam, HR. Nasai 2/ 243
dalam pembukuan sannadnya terputus
[118] Lebih jelasnya bisa merujuk
kedalam kitab : Salsabil fi Ma’rifatid Dalil صلح بن ابرهيم 1/204 _205, Nailul
Author 2/ 310-311 (Muh Asy Syukori), Jami’ul Ushul 5/ 413, Syarku
sunnah al Imam al Bagawi 31157, Tuhfatul Ahwadzi 2/ 145-146
[119] HR. Bukhari
[120] Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, Juz I hal 712
[121] Fikih Sunah 1/143
[122] HR. Abu daud dan at-Tarmidzy, ia berkata:hadits hasan
shahih
[123] Fikih Sunah 1/143
[124] Al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 3/404.
[125] HR. Bukhari bab. Kitabus Salam
[126] Al-Adzkar hal. 113.
[127] Fathul Baary 2/564.
[128] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ juz VI
hal. 445-447 dan Tamamul Minnah al-Albany.
[129] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 404
[130] HR. Bukhary
[131] HR. Abu Daud dan at-Tarmidzy,
at-Tarmidzy menyatakan hadits ini hasan shahih
[132] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 404
[133] Fathul Bari II / 563-564
[134] Majmu’ Syarhul Muhadzab juz III / 406
[135] Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ juz VI
hal. 445-447
[136] Majmu’Fatawa juz XXII / 452
[137] Al-Mughny II / 213.
[138] HR
Abu Dawud dengan sanad yang sohih
[139] lihat sifat shalat Nabi,
hal 187
[140] Bulughul Maram
halaman 77 dan Syarahnya Subulus Salam halaman 375
[141]
‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud cetakan Al Anshori di Delhi, yaitu Syarh Abi
Daud karangan Syaikh Muhammad Asyraf bin Amir bin ‘Ali bin Haidar Ash Shodiqi
Al ‘Azim Abady. Mukhtashor dari Al Maqshud Fii Halli Sunan Abi Daud oleh Syaikh
Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azim Abady, juz I halaman 380, disitu tidak terdapat
tambahan و بركاته pada salam kedua, tapi hanya disebutkan pada salam pertama
saja.jugaNaskah Mukhtashor Sunan Abi Daud oleh Al Hafidz Al Mundziry, juz I
halaman 459. disebutkan didalamnya tambahan و بركاته pada salam
pertama saja.
[142] Dikeluarkan
oleh Abu Daud no 1/997, 262